BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan Islam
yang memperioritaskan ilmu pengetahuan yang dipelajari dapat mempertebal
keimanan karena selalu berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi akibat
beberapa problematika yang terjadi di masyarakat yang hal itu membawa
simbol-simbol serta ajaran agama Islam seperti aksi terorisme tadi dapat
menjadi tantangan yang sangat berat bukan hanya bagi para pemuka agama Islam
(ulama) tapi juga bagi para sarjana pendidikan Islam. Karena merekonstruksi
persepsi umat non-muslim terhadap agama Islam seperti awal lahirnya Islam
sangat sulit dan penuh tantangan.
Secara khusus tantangan berikutnya adalah kemajemukan yang ada pada masyarakat Indonesia baik pada aspek budaya, agama, sosial masyarakat. Pada sisi budaya sangat memberikan efek yang sangat kuat dalam mengajarkan pendidikan Islam, walaupun mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam hal itu tidak menjamin bagi para sarjana untuk mudah menananmkan nilai-nilai pendidikan agama Islam secara kaffah dan murni sesuai ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, baik di lingkungan keluarga, sekolah apalagi masyarakat yang notabene lebih luas.
2. Identifikasi masalah
A. Pembahasan tentang Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
B. Apa saja peluang Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
C. Apa saja tantangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
3. Manfaat Dan Tujuan
Manfaat dan tujuan dalam mempelajari
tentang peluang dan tantangan lulusan perguruan tinggi agama
islam, terutama di negara kita adalah agar kita dapat
mengetahui peluang dan tantangan
PTAI pada masa sekarang.
A. mengerti adanya perguruan tinggi agama islam
B. mengerti tentang peluang apa saja pada lulusan PTAI
C. mengetahui tentang tantangan yang harus di hadapi oleh lulusan
PTAI
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Perguruan
Tinggi Agama Islam
Kemajuan pembangunan bangsa telah
membawa banyak perubahan terrhadap masyarakat Indonesia. Salah satu di antara
perubahan itu adalah perubahan aspirasi masyarakat di bidang pendidikan. Banyak
orang, terutama yang berkecimpung di kalangan pendidikan Islam, merasa bahwa
masyarakat Indonesia kini telah bergeser menjadi semakin materialistik.
Perhatian mereka terhadap masalah materi (keduniawian) semakin besar dan
perhatian kepada masalah agama semakin kecil. Hal ini juga tercermin dalam
aspirasi pendidikan mereka. Pendidikan, bagi kebanyakan warga masyarakat,
dianggap sebagai persiapan untuk memperoleh pekerjaan, bukan lagi untuk mencari
ilmu demi ilmu seperti zaman kejayaan pesantren dulu Kini semakin banyak orang
yang memilih pendidikan non-agama yang menjanjikan pekerjaan yang lebih mudah
daripada pendidikan agama. Ini tampak baik di tingkat pendidikan dasar maupun
di tingkat pendidikan menengah dan tinggi.
Tujuan
Pendidikan menurut John Dewey, seorang ahli filsafat*) ialah membentuk manusia
untuk menjadi warga Negara yang baik untuk itu di sekolah-sekolah di anjurkan
segala sesuatu pada anak yang perlu bagi kehidupannya dalam masyarakat sebagai
anggota masyarakt dan sebagai warga Negara1.
Di tingkat
pendidikan dasar, orang lebih mementingkan pengetahuan umum daripada pendidikan
agama. Orang akan merasa lebih prihatin ketika nilai rapor pengetahuan umum
anaknya rendah daripada ketika nilai rapor pendidikan agamanya rendah.
Kursus-kursus penunjang pelajaran di tingkat dasar dan menengah yang laris
adalah kursus atau bimbingan belajar untuk menunjang prestasi anak di ebtanas
atau UMPTN (yang terpusat pada ilmu pengetahuan umum), bukan kursus pendidikan
agama.
Di tingkat pendidikan tinggi, peminat ke PTAI jauh
lebih sedikit daripada peminat ke UMPYN ataupun ke PTS non-agama.
*)Filsafat dewey adalah “progmatisme”
yaitu suatu aliran dalam filsafat yang mementingkan guna dan faidah segala
sesuatu di anggap baik atau buruk di tinjau dari segi faidah atau kegunaannya
di dalam dan bagi masyarakat.
1Purwanto,Ngalim.”Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis”, PT.Rosda Karya , Bandung,2004 Hal 24
Dari yang
sedikit itupun kualitasnya tidak sebagus mereka yang memilih PTN dan PTS
non-agama. Sering dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa yang masuk ke IAIN,
STAIN, dan PTAIS adalah mereka yang tidak lulus UMPYN atau tidak mampu ke PTS
favorit karena biaya. IAIN, STAIN, atau PTAIS tampaknya hanya merupakan pilihan
cadangan bagi sebagian besar mahasiswa. Hal ini tentu saja mengakibatkan
persoalan tersendiri bagi IAIN, STAIN, atau PTAIS karena motivasi belajar
mereka di IAIN, STAIN, atau PTAIS rendah sehingga sulit bagi lembaga pendidikan
itu untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi.
Keadaan yang
kurang menguntungkan ini ditambah dengan banyaknya lulusan PTAI yang masih
menganggur setelah lulus. Salah seorang bekas Rektor IAIN yang kemudian menjadi
Irjen di Depag pernah mengatakan bahwa pertanyaan yang paling ia tidak berani
tanyakan apabila bertemu dengan bekas anak didiknya (lulusan IAIN tempat ia
bekerja) adalah “Bekerja di mana Anda sekarang?” Beliau takut kalau dijawab,
“Belum bekerja, pak.”
Keadaan
inilah yang mungkin akan menimbulkan pertanyaan pada diri kita yang
berkecimpung di bidang pendidikan Islam ini: Masih adakah peluang bagi Sarjana
Agama di Indonesia ini? Apakah tantangan yang dihadapi oleh Sarjana Agama agar
tetap berperan di masyarakat di zaman yang cepat berubah ini? Inilah
pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam makalah ini.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, makalah ini mula-mula akan mengajak pembaca untuk
menganalisa tentang perubahan aspirasi masyarakat tersebut. Setelah itu,
makalah ini akan mengajak pembaca untuk melihat peluang bagi dan tantangan yang
dihadapi oleh Sarjana Agama. Terakhir, makalah ini ingin mengajukan pertanyaan
kepada IAIN, STAIN, dan PTAIS sebagai ‘produsen’ Sarjana Agama.
Perubahan aspirasi pendidikan
masyarakat, haruskah kita sesali?
Banyak
orang, terutama yang berkecimpung di lembaga pendidikan Islam, yang mengeluhkan
dan menyesali terjadinya perubahan aspirasi masyarakat di bidang pekerjaan dan
pendidikan ini. Mereka ‘menyalahkan’ masyarakat yang menurut pendapatnya, telah
tidak memperhatikan pendidikan agama demi memperoleh pendidikan pengetahuan dan
keterampilan yang berkaitan dengan prospek memperoleh pekerjaan di masa depan.
Namun, apakah keluhan dan penyesalan saja dapat menyelesaikan persoalan yang
kita hadapi? Haruskah masyarakat menyesuaikan diri dengan selera kita yang
bergerak di bidang di pendidikan Islam ataukah kita yang menyesuaikan diri
dengan selera masyarakat?
Dalam
pendekatan sistem ada kaidah yang mengatakan bahwa suatu sistem akan tetap
eksis apabila sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan supra sistemnya. Dalam
sistem pendidikan, lembaga pendidikan merupakan sub-sistem dari masyarakat.
Fungsi dari sub-sistem ini adalah melayani kebutuhan supra sistemnya. Dengan
demikian, fungsi dari lembaga pendidikan adalah untuk melayani kebutuhan
masyarakatnya. Ketika kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan itu berubah,
maka lembaga pendidikan itu harus menyesuaikan dirinya dengan perubahan itu
agar dia, sebagai sub-sistem, tetap eksis (dibutuhkan).
Masyarakat
memang selalu berubah dan memang harus berubah. Sejarah telah mencatat
perubahan-perubahan itu, mualai dari zaman primitif (zaman batu) sampai ke
zaman komputer sekarang ini. Masyarakat yang tidak mau berubah akan ketinggalan
jika dibandingkan dengan masyarakat yang mau berubah. Kita tidak dapat
menghalangi perubahan itu karena, di dunia ini, hanya perubahan itulah yang pasti
terjadi. Persoalannya banrngkali adalah kita merasa bahwa perubahan yang
terjadi akhir-akhir ini begitu cepat sehingga kita pontang-panting untuk
menyesuaikan diri. (Bandingkan dengan perubahan yang terjadi tiga puluh tahun
yang lalu, yang cukup lamban sehingga memberi kesempatan orang untuk
menyesuaikan diri).
Perubahan
masyarakat terjadi karena adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pengetahuan dan teknologi itu kemudian tersebar luas melalui
komunikasi antar kelompok masyarakat dan antar negara.Kecepatan perubahan yang
terjadi di seluruh dunia akhir-akhir ini adalah akibat dari kemajuan iptek di
bidang telekomunikasi yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi antar tempat
yang jarakanya sangat jauh dengan sangat cepat (penemuan pesawat terbang super
cepat Concorde, hungungan telepon melalui satelit, siaran televisi melalui
satelit, dan, yang terakhir ini, internet).
Kemajuan
teknologi telekomunikasi telah memungkinkan orang melihat kemajuan masyarakat
atau bangsa lain dan ingin menirunya. Kemajuan teknologi transportasi telah
memungkinkan orang untuk berkunjung ke negara lain dan mengimpor atau
mengekspor barang dari dan ke negara lain. Hal ini kemudian menciptakan pasar
luar negeri bagi barang atau komoditi terseebut. Kemajuan teknologi produksi
telah memungkinkan pabrik memproduksi barang dalam jumlah besar dan dalam waktu
yang relatif cepat sehingga membuat harga barang tersebut semakin murah dan
semakin terbeli oleh banyak orang di seluruh dunia. Inilah yang disebut sebagai
proses globalisasi, suatu proses mendunia di mana orang tidak lagi melihat
jangkauan langkahnya terbatas hanya di negaranya sendiri melainkan sudah meluas
ke seluruh dunia. (Melalui internet, kita dapat menjelajahi dunia untuk mencari
informasi, bahkan membeli barang, tanpa harus keluar kamar).
Pertukaran
informasi yang cepat inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan cepat di
masyarakat. Perubahan itu kini kita rasakan hampir di semua bidang, di bidang
politik, ekonomi, iptek, budaya, sosial, dan agama. Keinginan untuk meniru
kemajuan banggsa lain itulah yang mungkin menyebabkan kita menganggap
masyarakat kita kini semakin disibukkan oleh urusan dunia dan menomor duakan
urusan akhirat. Tetapi, benarkah demikian?
Kalau kita
mau menengok sejarah, barangkali akan terkesan oleh kita bahwa trend manusia
untuk sibuk dengan urusan dunia dan melupakan urusan akhirat itu bukanlah
barang baru. Di dalam Al-Qur’an banyak kisah tentang itu, tentang Qarun yang
kaya raya, tentang Fir’aun yang merasa menjadi Tuhan karena begitu besar
kekuasaannya, dan banyak lagi firman Allah yang menunjukkan betapa banyaknya
manusia yang melupakan akhirat karena tergoda perhatiannya oleh kesibukan
dunia. Oleh karena itulah mungkin Tuhan lalu mengutus para nabi dan rasul untuk
mengingatkan manusia agar tidak terlalu terbuai oleh urusan dunia yang fana
ini. Sifat dasar manusia untuk lupa dan terbuai oleh dunia itu menimbulkan
kebutuhan akan ‘para pengingat’ yaitu nabi dan rasul. Kini, sesuai dengan
kemajuan zaman, nabi dan rasul itu tiada lagi. Fungsi itu kini telah digantikan
oleh para ulama, ahli ilmu agama.
2. Peluang Sarjana Agama di masa kini
Berkaitan
dengan individu di bagi menjadi 2 secara psikologis yaitu ekstrovert dan
introvert, mahasiswa sudah di anggap dewasa akan lebih baik jika di perlakukan
dengan cara-cara yang sesuai dengan karakteristik mereka, khususnya
karakteristik psikologisnya. Hal itu terjadi karena karakterisstik psikologis
akan mempengaruhi seseorang dalam bekerjasamadengan orang lain dalam suatu
kelompok seperti cara memecahkan masalah, membuat keputusan , membuat rencana
belajar dan juga cara belajar secara umum. Kesemuanya itu akan mempengaruhi
seseorang pada gaya belajarnya (learning style). Yang di maksud gaya belajar
adalah kecenderungan seseorang untuk menggunakan cara tertentu dalam belajar
sehingga akan dapat belajar dengan baik.
Dengan
cara desain pembelajaran Agama Islam yang seperti ini maka peluang dalam dunia
atau masa yang akan datang akan berpengaruh2.
Berdasarkan beberapa tantangan yang terus dihadapi oleh sarjana pendidikan agama Islam, yang semakin hari semakin berkembang maka, tantangan tersebut dapat memberikan peluang serta motivasi tersendiri bagi sarjana, karena banyak efek dari globalisasi di berbagai bidang memberikan peluang. Seperti pada aspek ekonomi. Secara umum perekonomian negara-negara Islam terbelakang namun sistem perekonomian yang dibangun berlandaskan syari’ah Islam dapat memberikan sumbangsih serta dapat berjalan secara stabil sehingga mempengaruhi pemikiran para pakar ekomoni barat tentang sistem yang diterapkan di negara-negara non-Islam yaitu sistem ekonomi kapitalis yang hingga sekarang mengalami krisis. Oleh karena itu, para sarjana mendapatkan angin segar atau referensi terkait sistem perekonomian bahwasanya agama Islam telah mengajarkan sistem ekonomi yang dinamis tanpa ada kecurangan serta keriba’an.
Berdasarkan beberapa tantangan yang terus dihadapi oleh sarjana pendidikan agama Islam, yang semakin hari semakin berkembang maka, tantangan tersebut dapat memberikan peluang serta motivasi tersendiri bagi sarjana, karena banyak efek dari globalisasi di berbagai bidang memberikan peluang. Seperti pada aspek ekonomi. Secara umum perekonomian negara-negara Islam terbelakang namun sistem perekonomian yang dibangun berlandaskan syari’ah Islam dapat memberikan sumbangsih serta dapat berjalan secara stabil sehingga mempengaruhi pemikiran para pakar ekomoni barat tentang sistem yang diterapkan di negara-negara non-Islam yaitu sistem ekonomi kapitalis yang hingga sekarang mengalami krisis. Oleh karena itu, para sarjana mendapatkan angin segar atau referensi terkait sistem perekonomian bahwasanya agama Islam telah mengajarkan sistem ekonomi yang dinamis tanpa ada kecurangan serta keriba’an.
Pada
aspek politik, peluang sarjana pendidikan Islam begitu besar karena beberapa
kebijakan pemerintah Indonesia mendukung serta memberikan keluasan terhadap
pengajaran agama Islam baik dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi. Kebijakan dan regulasi seperti ini dapat membangkitkan peluang para
sarjana bahwa pendidikan Islam sangat penting bagi kehidupan masyarakat
Indonesia yang mayoritas pendudukanya memeluk agama Islam. Selain
peluang-peluang tersebut, para sarjana juga harus memiliki keterampilan dan
keahlian, sebagaimana kompetensi yang mesti dimiliki oleh guru dan dosen yang
mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesional.
Keterampilan dan keahlian tersebut seperti:Kemampuan menulis.Kemampuan berpikir
kreatif.Kemampuan berkomunikasi secara efektif. Kemampuan menggunakan komputer.Kemampuan memanfaatkan teknologi informasi.
2Zaini.Hisyam
dkk, “Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi”, CTSD IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2002 Hal 5
Kemampuan
membuat keputusan.Kemampuan bekerja sama dalam tim.Beberapa kemampuan di atas
dapat memberikan jalan bagi para sarjana untuk bersaing dan merekonstruksi
pendidikan agama Islam yang sekarang terpuruk akibat banyaknya tantangan yang
mengemuka pasca globalisasi.
Pertanyaan
yang muncul dalam hal ini adalah: “Melihat kondisi saat ini, di mana banyak
warga masyarakat yang semakin tertarik jpada masalah non-agama dan cenderung
menomor sekiankan masalah yang berkaitan dengan agama, masih adakah peluang
bagi Sarjana Agama untuk eksis di masyarakat?” Untuk menjawab pertanyaan ini,
kita perlu mendefinisikan dulu apa yang kita maksud dengan istilah ‘peluang’
itu. Apakah peluang itu kita definisikan sebagai peluang untuk ‘mengabdi’,
‘berperan serta’, ‘bekerja’, ataukah ‘menjadi kaya’ di masyarakat?
Peluang
untuk mengabdi dan berperan serta di masyarakat, saya kira, terbuka amat luas.
Kebutuhan akan Sarjana Agama amat banyak. Semakin rusak suatu masyarakat, akan
semakin dibutuhkan pula peran ulamaiii, sebagai pewaris nabi, untuk
‘mengingatkan mereka ke jalan yang lurus. Dalam konteks masyarakat Indonesia
yang mayoritasf Muslim ini, inilah saat di mana mereka amat membutuhkan para
Sarjana Agama untuk membantu mereka menyeimbangkan kehidupan mereka yang terus
menerus dibombardir oleh urusan pekerjaan (duniawi) mereka. Banyak contoh yang
menunjukkan bahwa para ahli ilmu agama itu juga dapat ‘menjadi kaya’ karena
pekerjaannya itu.
Peluang di
luar negeri pun terbuka lebar. Dengan semakin majunya teknologi telekomunikasi,
kini penyebaran Islam ke negeri non-Muslim semakin mudah. Di Amerika Serikat,
misalnya, kini semakin banyak orang Amerika yang memeluk agama Islam akibat
kontak mereka dengan orang-orang Muslim yang berkunjung ke sana atau yang
ditemuinya ketika mereka berkunjung ke negara-negara muslim. Mereka kebanyakan
mengenal Islam melalui buku-buku tentang Islam yang kini semakin mudah
diperoleh. Bahkan, di internet pun kini banyak situs-situs yang menyediakan
artikel tentang Islam untuk pemula, bahkan Al-Qur’an dan Hadith dengan berbagai
versi terjemahannya. Mereka ini tentu saja memerlukan para ahli ilmu agama
untuk membimbing dan memperluas wawasan keagamaan mereka. Perjanjian Pasar
Bebas antar negara ASEAN di tahun 2003, di mana hambatan non-tarif bagi lalu
lintas barang, uang, jasa, dan orang antar negara ASEAN semakin dihilangkan,
semakin membuka peluang Sarjana Agama Indonesia untuk bekerja di negara ASEAN.
Beberapa masyarakat muslim di ASEAN, seperti di Patani (Thailand), Malaysia,
Singapore, dan Filipina tentu masih membutuhhkan tenaga ahli ilmu Agama dari
Indonesia. Di tahun 2010, peluang untuk bekerja di negara-negara di Asia
Pasifik (termasuk AS, Australia, Cina, dan Jepang) semakin terbuka dengan
diberlakukannya perjanjian Pasar Bebas Asia Pasifik (APEC ).
Hal ini
diperkuat dengan ramalan para futurists (peramal masa depan), seperti Alvin
Toffler dan sebagainya, yang mengatakan bahwa masyarakat di negara maju di masa
depan akan kembali cenderung ke masalah spiritual setelah mereka merasakan
kekosongan hati akibat melimpahnya materi yang mereka nikmati akibat kemajuan
teknologi selama ini. Kecenderungan masyarakat negara maju untuk mempelajari
masalah-masalah spiritual ini tentu saja merupakan peluang yang amat bagus bagi
para Sarjana Agama untuk bekerja di luar negeri. Apalagi setelah
diberlakukannya perjanjian Pasar Bebas.
3. Tantangan yang dihadapi oleh Sarjana
Agama
Pendidikan
Islam yang memperioritaskan ilmu pengetahuan yang dipelajari dapat mempertebal
keimanan karena selalu berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi akibat
beberapa problematika yang terjadi di masyarakat yang hal itu membawa
simbol-simbol serta ajaran agama Islam seperti aksi terorisme tadi dapat
menjadi tantangan yang sangat berat bukan hanya bagi para pemuka agama Islam
(ulama) tapi juga bagi para sarjana pendidikan Islam. Karena merekonstruksi
persepsi umat non-muslim terhadap agama Islam seperti awal lahirnya Islam
sangat sulit dan penuh tantangan. Secara khusus tantangan berikutnya adalah
kemajemukan yang ada pada masyarakat Indonesia baik pada aspek budaya, agama,
sosial masyarakat.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan,
Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen , peraturan mentri
pendidikan nasional Republik Indonesia nomor 16 tahun 2007 tentang standart
Kualifikasi Akademik Kompetensi guru , Peraturan Mentri nomor 18 Tahun 2007
tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan , maka di perlakukan rambu-rambu
bimbingan teknis bagi guru untuk mengembangkan profesionalisme yang
berkelanjutan.
Guru
Pendidikan agama islam dalam menghadapi Arus perubahan ini di tuntut untuk
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Sebab guru tidak
akan lepas dari dan tidak akan steril dari arus perubahan tersebut. Maka jiwa
merdeka dari guru di perlukan agar dapat mengantisipasi berbagi perubahan
pendidikan secara umum maupun perubahan-perubahan secara mendasar dalam proses
pembelajaran yang merupakan core business pendidikan3.
Tantangan
seorang lulusan PTAI adalah dapa melaksanakan tugas profesionalitasnya di
perlukan wawasan yang mantab mengenai kemungkinan-kemungkinan strategi
pengajaran sesuai dengan tujuan-tujuan pengajaran baik dalam arti efek
pengajaran (instructional effect yakni tujuan-tujuan yang secara eksplisit di
usahakan dengan mencapai tindakan pengajaran tertentu), maupun dalam arti efek
pengiring (nurturant effect yakni tujuan-tujuan yang menunjukkan hasil ikatan
yaitu ia tercapai oleh sebab peserta didik to live in atau menghidupi sesuatu
system lingkungan belajar tertentu seperti kemampuan berfikir kritis, kreatif
dan demokratis dsb). Yang hendak di capai berdasarkan rumusan tujuan pendidikan
yang utuh di samping penguasaan tekhnis dalam mendesai system lingkungan
pengajaran dan mengimplementasikan secara efektif apa yang telah di rencanakan
dalam desain pengajaran4.
Pada
sisi budaya sangat memberikan efek yang sangat kuat dalam mengajarkan
pendidikan Islam, walaupun mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam
hal itu tidak menjamin bagi para sarjana untuk mudah menananmkan nilai-nilai
pendidikan agama Islam secara kaffah dan murni sesuai ajaran al-Qur’an dan
as-Sunnah, baik di lingkungan keluarga, sekolah apalagi masyarakat yang
notabene lebih luas.
Seperti
budaya sebagian masyarakat Jawa yang selalu mengangggap bahwa benda-benda
tertentu semacam kris atau benda lain memiliki kharismatik atau keajaiban yang
dapat memberikan ketentaraman dan keselamatan kepada pemiliknya.
Budaya
semacam ini tidak dapat dipungkiri karena memang Islam masuk ke Negeri ini
paling akhir dengan kata lain memang Islam merupakan agama penyempurna serta
agama yang meluruskan agama lain tanpa adanya kekerasan. Hal semacam ini yang
memberikan tantangan serta tuntutan bagi sarjana pendidikan Islam untuk
mengishlahkan tanpa menghilangkan budaya tersebut.
3Hamdani,Nizar
A dan Hermana,Dody. “Classroom action research”, Rahayasa research and
training.2008 Hal 1-2
4Rohani,Ahmad.HM.”Pengelolaan
Pengajaran”.PT Asdi Mahasatya, Jakarta. 2004 hal 33-34
Sebagaimana
dijelaskan oleh Muhammad Rizal (2004) bahwa Preoritas kegiatan pendidikan Islam
harus diarahkan pada empat hal, sebagai berikut : Pertama, pendidikan Islam
bukahlah hanya untuk mewariskan faham atau pola keagamaan hasil internalisasi
generasi terhdap anak didik. Kedua, pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan
menggunakan andai-andaian model yang di idealisir yang sering kali membuat kali
kita terjebak dalam romantisme yang berlebihan. Ketiga, bahan-bahan pengajaran
agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematik empirik disekitarnya.
Keempat, perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses mengajar
agama sehingga anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam
rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau substansi
agama5.
Tantangan
pendidikan agama islam kini dan masa yang akan datang
Pendidikan
sering dikatakan sebagai seni pembentukan masa depan. Ini tidak hanya terkait
dengan manusia seperti apa yang kita harapkan di masa depan, tetapi juga dengan
proses seperti apa yang akan di berlakukan di masa yang akan datang. Baik dalam
konteks peserta didik maupun proses, pendidikan perlu memperhatikan realitas
sekarang sekarang untuk menyusun format langkah-langkah yang akan di berlakukan.
Pendidikan
islam dewasa ini menghadapi banyak tantangan yang berusaha mengancam
keberadaannya. Tantangan tersebut merupakan bagian dari sekian banyak tantangan
global yang memerangi kebudayaan islam dan kadang-kadang tampak dengan kedok
politik, kedudukan militer, dan perang kebudayaan. Semuanya seperti terjalin
dalam satu kekuatan yang berupaya memperdaya islam dan pemeluknya.
Seperti
dalam firman Allah:
“Mereka ingin hendak
memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
5http://arbainurdin.blogspot.com/2010/05/tantangan-dan-peluang-lulusan.html
mereka
dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.”(QS. Al-Shaff,61:8)
Tantangan
pertama
Kebudayaan
islam terhadap kebudayaan barat Abad ke 20. Tantangan ini apabila tidak di
respon oleh para pemikir muslim atau juga lulusan PTAI dapat ancaman bagi
kebudayaan islam, mengingat kebudayaan di dukung oleh tekhnologi yang canggih
yang tersebar ke berbagai negri muslim. Generasi muda mesti di lindungi dengan
usaha terpadu para pembela kebudayaan agama islam dengan berbagai
spesialisasinya seperti guru. Jika tidak, maka melalui media yang canggih
pikiran-pikiran dan nilai-nilai kebudayaan barat akan merasuki mereka. mereka
para lulusan PTAI harus mampu menolong
generasi muda bersikap positif dalam upaya menggali karakteristik asli agama
dan warisan umat sejalan dengan nafas kemajuan sambil tetap berpegang teguh
dengan dasar-dasar yang kokoh. Dasar-dasar yang kokoh seperti mempelajari
tentang isi kandungan Alqur’an.
Tantangan
ke dua
Kebudayaan
yang di miliki sebagai pemuda muslim yang sedang belajar ke negri asing membawa
kebudayaan asing ke negri asal, mereka bias meniru kebudayaan asing secara buta
dan membawa filsafat barat yang tidak sesuai dengan realitas dan warisan kebudayaan
mereka.
Tantangan
ke tiga
System
kebudayaan islam di sebagian Negara muslim masih terpaku dengan metode
tradisional dan kurang merespons perkembangan zaman secara memadai agar
generasi muda tidak bepaling kepada kemewahan kehidupan modern dan kebudayaan
barat
Tantangan
ke empat
Kurikulum
universitas disebagian dunia islam masih mengabaikan kebudayaan islam.
Alasannya, universitas hanya bertugas menghasilkan tenaga-tenaga terampil bagi
masyarakat, sedangkan pembekalan keagamaan menjadi tugas para mahasiswa PTAI.
Tantangan
ke lima
Berkenaan
dengan pendidikan wanita muslimah. Pendidikan modern dengan berkedok
nasionalisme memang gencar mempromosikan pendidikan wanita, tetapi mengabaikan
pendidikan kesyari’atan bagi anak-anak putri6.
Tantangan
yang dihadapi oleh para Sarjana Agama di abad informasi ini adalah: mampukah
mereka memanfaatkan peluang yang telah diutarakan di atas tadi? Mampukah mereka
mengatasi kendala-kendala yang selama ini melilit sebagian besar Sarjana Agama?
Kendala-kendala
yang melilit diri sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam itu sudah
lama diketahui orang: (1) penguasaan ilmu agama Islam yang kurang mendalam
akibat ketidak mampuan membaca kitab klasik yang merupakan khazanah ilmu
pengetahuan agama Islam, (2) penguasaan ilmu pengetahuan umum untuk dapat
berkomunikasi secara lancar dengan anggota masyarakat yang menguasai bidang
itu, (3) penguasaan yang kurang luas atas metodologi dan teknik penyampaian
ajaran Islam agar mudah diterima oleh warga masyarakat yang berbeda-beda, dan
(4) keteladanan yang kurang dapat ditiru akibat kurangnya penghayatan ajaran
agama yang kurang oleh Sarjana Agama itu sendiri.
Prof. Dr.
Mukti Ali, semasa masih menjabat sebagai menteri agama, menyebutkan bahwa
kelemahan pokok lulusan IAIN adalah penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris)
dan metodologi. Penguasaan bahasa Arab akan memudahkan Sarjana Agama untuk
menggali ilmu agama langsung dari sumbernya sementara penguasaan Bahasa Inggris
akan membantu mereka mengikuti jperkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penguasaan metodologi ilmiah akan membantu mereka menata pikir mereka sehingga
pendapat mereka dapat disampaikan secara logis dan urut.
Sampai sekarang, setelah lebih dari
dua puluh lima tahun, kendala itu masih tetap melilit lulusan IAIN, apalagi
PTAIS.
Untuk tetap dapat melayani kebutuhan
masyarakat akan ilmu agama Islam, Sarjana Agama di zaman millenium ini harus
berusaha untuk memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
6Aly Hery Noer. “Watak
Pendidikan Agama Islam”, Friska Agung Insani, Jakarta. 2000 Hal 227-234
- Mampu berbahasa Arab, minimal mampu membaca kitab klasik. Kemampuan ini diperlukan untuk menggali sendiri ilmu pengetahuan agama Islam yang tersimpan di dalam kitab-kitab berbahasa Arab yang jumlahnya banyak sekali dan terus bertambah.
- Menguasai ilmu agama Islam secara luas dan mendalam serta menguasai perbedaan-perbedaan faham yang pernah ada di kalangan ummat Islam mengenai berbagai masalah (politik budaya, agama, dsb.).
- Mengahayti dan mengamalkan ajaran agama Islam sehingga dapat dijadikan teladan perilaku bagi orang lain yang mengikutinya.
- Berwawasan global, melihat seluruh permukaan bumi ini sebagai tempat pengabdian kepada Allah dan siap untuk bekerja di mana saja di muka bumi ini. Juga selalu mengikuti perkembangan dunia.
- Menguasai bahasa asing lain, minimal Bahasa Inggris, agar dapat berkomunikasi dengan (menyampaikan pesan Islam kepada) orang asing. Penguasaan bahasa asing lain juga akan memudahkan mereka memperluas wawasan keilmuannya.
- Mengikuti perkembangan kemajuan iptek sehingga ia dapat berkomunikasi secara lancar dengan warga masyarakat yang kini sudah hidup sehari-hari dengan iptek.
- Menguasai ilmu berkomunikasi yang diperlukan untuk menyampaikan pesan Islam secara tepat sesuai dengan sasaran dakwahnya.
Pertanyaan
yang sederhana namun mungkin memerlukan jawaban yang tidak mudah: Sarjana Agama
seperti apakah yang ingin Anda hasilkan? Sarjana Agama (ahli agama) yang tidak
mengerti agama ataukah yang benar-benar ahli dalam ilmu agama? Ahli ilmu agama
yang fasih membaca kitab ataukah yang tidak mampu membaca kitab? Yang
berwawasan global ataukah yang hanya berwawasan lokal?
Kalau
pertanyaan itu kita tanyakan kepada para pengelola PTAI, maka jawaban yang
diberikan umumnya bersifat normatif dan idealis: yang terbaiklah sasaran kami.
Yang kami ingin hasilkan tentunya adalah Sarjana Agama yang benar-benar ahli
dalam ilmu agama, yang mampu membaca kitab, dan yang berwawasan global. Namun,
kalau dilihat dari hasil yang selama ini kami hasilkan, mungkin Anda akan
bertanya lagi “Apakah Anda serius dengan jawaban Anda itu?’
Kekurangan-kekurangan
yang ada pada Sarjana Agama, untuk sebagian, merupakan tanggung jawab para PTAI yang telah meluluskan mereka itu. Tanda lulus
merupakan tanda bahwa mahasiswa yang bersangkutan telah memenuhi standar
kemampuan yang ditentukan oleh lembaga pendidikannya. Ketika standar kelulusan
itu diturunkan, entah karena alasan apa, maka turun pulalah kualitas lulusan
lembaga pendidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, apabila standar
kelulusan itu ditingkatkan, maka akan meningkat pula kualitas lulusan yang
dihasilkan.
Selama ini
PTAI seolah-olah berfungsi hanya sebagai pemberi ijazah saja, pemberi gelar dan
sertifikasi, bukan pembina kemampuan akademis calon alumninya. Kalau kita mau
meneliti dengan sungguh-sungguh, sebagian besar alumni IAIN yang mampu membaca
kitab itu umumnya karena mereka memang sudah mampu membaca kitab sebelum masuk
ke IAIN. Sementara mereka yang sebelum masuk ke IAIN tidak mampu membaca kitab
tetap tidak mampu membaca kitab dketika keluar dari IAIN. Standar kualitas
flulusan itu telah lama kita turunkan, dengan alasan rasa kasihan, sehingga
kita tidak tahu lagi apakah standar kualitas itu masih ada.
Kiranya
perlu ada perubahan orientasi di kalangan pengelola IAIN, STAIN, atau PTAIS
apabila kita ingin mengembalikan citra Sarjana Agama (alumni PTAI) yang dulu
pernah dikagumi orang. Orientasi yang semula diarahkan ke kuantitas perlu
dikembalikan ke kualitas. Lebih baik kita menghasilkan sedikit lulusan yang
berkualitas daripada menghasilkan banyak lulusan yang tidak berkualitas. Dengan
terjaganya mutu lulusan, citra lembaga dan citra lulusan juga akan terangkat7.
7http://ardabilly9.wordpress.com/sarjana-agama-peluang-dan-tantangannya
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tantangan janganlah
dijadikan rintangan tapi dijadikan sebgai bahan untuk membuka peluang. Walaupun
para sarjana pendidikan agama Islam banyak dikucilkan karena tidak mengikuti
zaman akibat materi yang dipelajari hanya bersifat akhirat atau abstrak belaka,
tapi semua itu perlu diluruskan bahwa ajaran/pendidikan agama Islam tidak hanya
mengajarkan kehidupan akhirat tapi juga kehidupan dunia. Jadi, kekontekstualan
pendidikan Islam perlu diajarkan oleh para sarjana pendidikan Islam supaya
dapat diterima oleh masyarakat muslim di Indonesia yang multikultural.
Makalah ini
telah berusaha membahas peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Sarjana Agama
dewasa ini. Dikemukakan bahwa, di era millenium ini, Sarjana Agama memiliki
peluang yang amat luas seiring dengan kemajuan ummat manusia yang kemudian
menimbulkan kebutuhan akan keseimbangan hidup secara fisik dan spiritual.
Sektor spiritual guna mengimbangi kehidupan fisik yang makin maju itulah
peluang yang dapat dimasuki oleh Sarjana Agama. Namun, kebutuhan akan ahli ilmu
agama ini dibarengi dengan tuntutan standar kualitas yang lebih tinggi. Ahli
agama di masa depan dituntut untuk bukan saja menguasai ilmu agama melainkan
juga memahami perkembangan iptek karena masyarakat di era millenium ini akan
semakin lekat dengan penggunaan iptek. Itulah juga yang menjadi tantangan bagi
Sarjana Agama dewasa ini. Kemampuan mereka untuk menafaatkan peluang yang
terbuka lebar akan sangat tergantung pada kemampuan mereka untuk memenuhi
tuntutan standar kualitas yang ditetapkan oleh masyarakat yang dilayaninya.
Dalam hal ini, kemampuan berbahasa asing dan wawasan global ikut menentukan
kebarhasilan mereka memanfaatkan peluang itu.
Sebagai
penutup, penulis ingin meminta pertanggung jawaban PTAI sebagai ‘produsen’ para
Sarjana Agama ini karena tinggi rendahnya kualitas Sarjana Agama, untuk
sebagian, ditentukan juga oleh cara mendidik lembaga pendidikan yang
menghasilkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
1Purwanto,Ngalim.”Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis”, PT.Rosda Karya , Bandung,2004 Hal 24
2Zaini.Hisyam
dkk, “Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi”, CTSD IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2002 Hal 5
3Hamdani,Nizar A dan
Hermana,Dody. “Classroom action research”, Rahayasa research and training.2008
Hal 1-2
4Rohani,Ahmad.HM.”Pengelolaan
Pengajaran”.PT Asdi Mahasatya, Jakarta. 2004 hal 33-34
5http://arbainurdin.blogspot.com/2010/05/tantangan-dan-peluang-lulusan.html
6Aly Hery Noer. “Watak
Pendidikan Agama Islam”, Friska Agung Insani, Jakarta. 2000 Hal 227-234
7http://ardabilly9.wordpress.com/sarjana-agama-peluang-dan-tantangannya