BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kita ketahui bahwa pendidikan sebagai usaha manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun
rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma
tersebut serta mewariskannya kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan
dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan[1].
Dalam hal pendidikan, tentu tidak akan terlepas dari kata
belajar, dimana belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan
masyarakat. Bagi pelajar atau mahasiswa kata “belajar” merupakan kata yang
tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisah dari semua
kegiatan mereka dalam menunut ilmu dilembaga pendidikan formal. Kegiatan
belajar mengajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam
hari, sore hari atau pagi hari[2].
Dari dulu hingga sekarang para ahli psikologi dan pendidikan
tidak bosan-bosannya membicarakan masalah belajar. Penelitian demi penilitian
sudah pula dilakukan. Berbagai teori belajar sudah tercipta sebagai hasil dari
penelitian[3].
Dari beberapa teori yang terdcipta tersebut ada teori belajar
penemuan yang dikembangkan oleh Jerome Bruner, diamana pada saat ini teori
merupakan salah satu teori yang baik untuk dikembangkan di era globalisasi.
Oleh karena itu dalam kesempatan akan di bahas secara mendalam mengenai teori
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Teori belajar penemuan yang dikembangkan oleh Jerome Bruner,
diamana pada saat ini teori tersebut merupakan salah satu teori yang baik untuk
dikembangkan di era globalisasi. Tentunya berbagai pembahasan akan menjelaskan
teori tersebut. Karena itu untuk dapat memudahkan kita dalam pembahasan, maka
dalam paper ini akan dipaparkan ;
1.
Bagaimana belajar penemuan (Discovery)
menurut Jerome Bruner.
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas terstruktur
mata kuliah Psikologi Belajar
2.
Untuk memberikan kejelasan kepada
para pembaca dalam memahami teori belajar penemuan menurut Jerome Bruner.
D.
Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan
makalah ini adalah metode kepustakaan atau library research.
Mengumpulkan sebanyak mungkin literatur yang terkait mengenai masalah yang
dibahas. Dan dimana hal itu sangat di perlukan untuk menunjang
penulisan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Belajar penemuan Menurut
Jerome Bruner
Belajar merupakan aktifitas yang berproses, tentu didalamnya terjadi
perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui
tahap-tahap yang antara satu dan lainnya bertalian secara berurutan dan
fungsional. Dalam konsep belajar penemuan menurut Jerome Bruner ada tiga
episode/tahap yang ditempuh oleh siswa, yaitu: tahap informasi (tahap
penerimaan materi), tahap transformasi (tahap pengubahan materi) dan tahap
evaluasi (tahap penilaian materi)[4].
Dan konsep ini merupakan konsep belajar yang menentang konsep belajar aliran
behavioristik.
Nasution menjelaskan bahwa ketiga tahapan konsep penemuan Jerome Bruner
tersebut saling berkaitan.
1.
Tahap informasi (tahap penerimaan
materi)
Dalam tiap pelajaran kita
proleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah kita
miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang
bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya , misalnya tidak ada
energy yang lenyap.
2.
Tahap transformasi (tahap pengubahan
materi)
Informasi itu harus
dianalisis , diubah atau ditransformasi kebentuk yang lebih abstrakatau
konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini
bantuan guru sangat diperlukan.
3.
Tahap evaluasi (tahap penilaian
materi)
Kemudian
dinilai hingga manakah pengetahuan yang diproleh dan ditransformasikan
itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar ketiga tahapan ini selalu terdapat. Yang menjadi masalah
ialah berapa banyak informasi diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap
tahapan tidak selalu sama. Hal ini antara lain juga tergantung pada hasil yang
diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan
dorongan untuk menemukan sendiri[5].
Konsep ini juga menjelaskan bahwa prinsip pembelajaran harus memperhatikan
perubahan kondisi internal peserta didik yang terjadi selama pengalaman belajar
diberikan dikelas. Pengalaman yang diberikan dalam pembelajaran harus bersifat
penemuan yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh informasi dan
keterampilan baru dari pelajaran sebelumya[6].
Oleh karena itu, konsep pembelajaran ini secara sadar mengembangkan proses
belajar siswa yang mengarah kepada aspek jiwa dan aspek raga. Sesuai dengan
pengertian belajar itu sendiri yaitu serangkaian kegiatan jiwa raga untuk
memperoleh perubahan tingkah ;laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam
interaksi dengan linkungannya yang menyangkut kognitif, efektif, dan
psikomotorik[7].
B.
Tokoh Serta Pemikiran Belajar
Penemuan Menurut Jerome Bruner
Tokoh yang mencetuskan konsep belajar
penemuan (discovery) ini yaitu Jerome Bruner beliau dilahirkan pada tahun 1915.
Jerome Bruner, bertugas
sebagai profesor psikologi di Universiti Harvard di Amerika Syarikat dan dilantik
sebagi pengarah di Pusat Pengajaran Kognitif dari tahun 1961 sehingga 1972, dan
memainkan peranan penting dalam struktur Projek Madison di Amerika
Syarikat. Setelah itu, beliau menjadi seorang profesor Psikologi di
Universiti Oxford di England[8].
Jerome Bruner (1966) adalah seseorang pengikut setia teori
kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai
perkembangan kognitif menusia sebagai berikut:
1.
Perkembangan intelektual ditandai
dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2.
Peningkatan pengetahuan tergantung
pada perkembangan system penyimpanan informasi secara realis.
3.
Perkembangan intelektual meliputi
perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui
kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan
dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
4.
Interaksi secara systematis antara
pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan
kognitifnya.
5.
Bahasa adalah kunci perkembangan
kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk
memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk
mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain.
6.
Perkembangan kognitif
ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternative secara
simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang
berurutan dalam berbagai situasi[9].
Teori fre discovery learning
bertitik tolak pada teori belajar kognitif, yang menyatakan belajar adalah
perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan ini tidak selalu berbentuk
perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Asumsi dasar teori kognitif ini
adalah setiap orang memiliki telah memiliki pengetahuan dan penglaman dalam
dirinya. Pengalaman dan pengetauan ini tertata dalam bentuk struktur kognetif.
Proses belajar akan berjalan dengan baik apabila materi pelajaran yang baru
beradaptasi (bersinambungan) secara ‘klop’ dengan struktur kognetif yang
sudah dimilki oleh peserta didik.
Menurut Bruner perkembangan kognetif
seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat
lingkungan, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
1.
Tahap enaktif
Pada tahap ini anak didik melakukan
aktivitas-aktivitasnya dalam usaha memahami lingkungan. Peserta didik melakukan
observasi dengan cara mengalami secara langsung suatu realitas. Artinya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainnya.
2.
Tahap ikonik
Pada
tahap ini anak didik melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk
perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
3.
Tahap simbolik
Pada
tahap ini peserta didik anak didik mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang
banyak dipengaruhi bahasa dan logika serta komunikasi dilakukan dengan
pertolongan sistem symbol. Semakin dewasa seseorang maka system symbol ini
semakin dominan. Peserta didik telah mampu memahami gagasan-gagasan abstrak.
Peserta didik membuatabstraksi berupa teoti-teori, penafsiran, analisis dan
sebagainya terhadap realitas yang telah diamati dan dialami.
Menurut Bruner belajar untuk sesuatu tidak tidak usah
ditunggu sampai peserta didik mencapai tahap perkembangan tertentu.yang penting
bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan kepadanya. Dengan
kata lain perkembangan kognetif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan
mengatur bahan belajar yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam pendidikan adalah
kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tetapi disesuaikan dengan tingkat
perkembangan kognitif peserta didik. Artinya menunutut adanya
pengulangan-pengulangan. Cara belajar terbaik menurut Bruner ini adalah dengan
memahami konsep arti, dan suatu kesimpulan (free discovery lerning). Atau
dapat dikatangan sebagai belajar dengan menemukan (discovery)[10].
C.
Ciri-ciri Belajar Penemuan
Menurut Jerome Bruner
Dari penjelasan tentang kensep Belajar penemuan menurut Jerome
Bruner di atas tentu teori ini memiliki perbedaan-perbedaan dibandingkan
dengan konsep atau teori belajar yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh lain.
Diamana dalam konsep belajar penemuan menurut Jerome Bruner ini seseorang
anak didik tidak saja dituntut untuk bisa menerima pengetahuan saja, tapi
tuntut untuk bisa mengolah dan bahkan mengevaluasi serta mengembngkan
pengetahuan tersebut. Jadi, secara umum terdapat dua ciri konsep belajar
penemuan Jerome Bruner ini, yaitu:
1.
Tentang (discovery) itu sendiri
merupakan ciri umum dari teori Bruner ini, diamana teori ini mengarahkan agar
peserta didik mendiri dalam menemukan, mengolah, memilah dan dan mengembangkan.
Berbeda dengan teori yang lain seperti teori, behavioristik yang belajar
berdasarkan pengalaman tidak memperhatikan aspek kognitifnya seperti teori
discovery Bruner ini.
2.
Konsep kurikulum spiral merupakan
cirri khas dari teori discovery Jerome Bruner ini. Dimana dalam teorinya di
tuntut adanya pengulangan-pengulangan terhadap penegetahuan yang sama namun
diulang dengan pembahsan yang lebih luas dan mendalam. Seperti pengetahuan
tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang di ajarkan pada sekolah dasar (SD)
kemudian ilmu penegtahuan tersebut masih dapat diajarkan di perguruan Tinggi
seperti Psikologi Belajar. Psikologi belajar merupakan pengetahuan yang sama
dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) namun pembahasan psikologi belajar
lebih mendalam.
D.
Kelebihan dan kelemhan Belajar
Penemuan Menurut Jerome Bruner
Setiap sesuatu itu memilki kelebihan dan kelemahan begitu
juga dengan teori penemuan menurut Jerome Bruner. Sebagaimana dijelaskan
Syaiful Bahri Djamarah, dalam bukunya Psikologi belajar, bahwa teori-teori
belajar yang baru hadir di mengisi lembaran sejarah dalam dunia pendidikan, tapi
perlu dipahami setiap teori belajar tersimpan kelemahan dibalik kelebihannya[11].
Menurut syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain dalam bukunya strategi belajar
mengajar menjelaskan bahwa kelebihan dan kelemahan konsep ini yaitu belajar
mengajar konsep ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognetif.
Kelemahannya adalah memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin
atau kurang terarah dapat menjerumus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi
yang dipelajari[12].
Penggunaan konsep discovery ini berusaha meningkatkan aktivitas belajar, maka
konsep ini memiliki keunggulan sebagai berikut:
1.
Konsep ini membantu peserta didik
mengembangkan bakatnya, membentuk sifat kesiapan serta kemampuan keterampilan
dalam proses kognitif peserta didik.
2.
Peserta didik memndapatkan
pengetahuan yang bersifat pribadi sehingga pengetahuan tersebut dapat bertahan
lama dalam diri peserta didik.
3.
Konsep ini memberikan semangat
belajar peserta didik, diamana dengan konsep belajar mencari dan menemukan
pengetahuan sendiri tentu rasa ingin tau itu timbul sehinnga akan membentuk
belajar yang ikhlas dan aktif.
4.
Konsep ini memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk menegembangkan kemampuannya dan keterampilannya
sendiri sesuai dengan bakat dan hobi yang dimilikinya.
5.
Konsep ini mampu membantu cara
belajar peserta didik yang baik, sehingga peserta memiliki motivasi yang kuat
untuk tetap semangat dalam belajar.
6.
Memberikan kepercayaan tersendiri
bagi peserta didik karena mampu menemukan, mengolah, memilah dan mengembangkan
pengetahuan sendiri.
7.
Konsep ini berpusat pada peserta
didik, dan guru hanya membantu saja.
Adapun kelemahan konsep belajar penmuan menurut Jerome
Bruner, yaitu:
1.
Konsep belajar ini menuntut peserta
didik untuk memiliki kesiapan dan kematangan mental. Peserta didik harus berani
dan berkeinginan mengetahuai keadaan disekitarnya. Jika tidak memiliki
keberanian dan keinginan tentu proses belajar akan gagal.
2.
Konsep ini kurang berhasil apabila
di laksanakan didalam kelas yang besar.
3.
Konsep ini terlalu mementingkan
proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan
keterampila bagi peserta didik.
Dari beberapa penjelasan tentang kelebihan dan kelemahan konsep penemuan
menurut Jeromi Bruner, tentu kita harus mampu mempergunakan konsep belajar ini
sesuai dengan keadaan dan tempatnya, sehingga nantinya dapat memaksimalkan
penggunaaan konsep ini dan tidak terjadinya kegalalan pembelajaran karena salah
dalam penggunaannya.
E.
Implikasi Konsep Belajar Penemuan
Menurut Jerome Bruner Dalam Kegiatan Pembelajaran.
Meneurut Syiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain impliklasi
konsep belajar discovery dalam pembelajaran yaitu:
1.
Simulation, guru mulai bertanya dengan
mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik untuk membaca atau mendengarkan
uraian yang memuata uraian permasalahan.
2. Problem Statement, anak didik diberi kesempatan
mengidentifikasi berbagai permasalahan. Sebagian besar memilihnya yang dipandang
paling menarik dan fleksibel untuk dipecahakan. Permasalahan yang dipilih itu
selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni
pernyataan (statemen) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang di
ajukan.
3. Data collection, Untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (Collection) berbagai informasi yang relavan, membaca
literature,m mengamati obyek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba
sendiri, dan sebagainya.
4.
Data prossesing. Semua informasi hasil bacaan,
wawancara observasi, dan sebagainya, semunya diolah, diacak, diklasifikasikn,
ditabulasi, bahkan apabila perlu dihitung dengan cara tertentu serta
ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
5. Verfication, atau pembuktian. Berasarkan hasil pengolahan dan
tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah
dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah
terbukti atau tidak.
6.
Generalization. Tahap selanjutnya berdasarkan
verfikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi
tertentu.
System belajar yang dikembangkan Brunner ini menggunakan
landasan pemikiran pendekatan belajar mengajar. Hasil belajar cara ini lebih
mudah dihapal dan diingat, mudah dtransfer untuk memecahkan masalah.
Pengetahuan dan kecakapan anak didikbersangkutan lebih jauhdapat menumbuhkan
motivasi instrik, karena anak merasa puas atas penggunaannya sendiri[14].
Kemudian Oemar Halik dalam bukunya perencanaan Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem, menjelaskan konsep belajar penemuan Jerome Bruner dapat
diaplikasikan dalam pembelajaran dalam bentuk pendekatan komunikasi satu arah
dan komunikasi dua arah, tergantung pada besarnya kelas.
1. Sistem satu arah (ceramah Reflektif)
Pendekatan satu arah
berdasarkan penyajian satu arah (penuangan/expotision) yang dilakukan
oleh guru. Struktur penyajiaannya dalam bentuk usaha merangsang siswa melakukan
proses penemuan (discovery) didepan kelas. Guru mengajukan suatu
masalah, dan kemudian memecahkan masalah-masalah tersebut melalui discovery.
Caranya adalah mengajukan pertanyaan kepada kelas, memberikan kesempatan kepada
kelas untuk melakukan refleksi. Selanjutkan guru menjawab sendiri pertanyaan
yang diajukan itu. Dalam prosedur ini guru tidak menentukan/menunjukkan
aturan-aturan yang harus digunakan oleh siswa. Guru mengharapkan agar siswa
secara keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secarareflektif. Dalam eadaan
ini, sesungguhnya tidak ada jaminan bahwa adanya penyajian oleh guru.
Penggunaan discovery dalam kelompok kecil sangat bergantung pada kemampuan dan
pengalaman guru sendiri, serta waktu dan kemampuan mengantisifikasi kesulitan
siswa.
2. Sistem dua rah (discovery
terbimbing)
System dua arah melibatkan
siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Siswa melakukan discovery,
sedangkan guru membimbing mereka kearah yang tepat/benar. Sekalipun di dalam
kelas yang terdiri dari 20-3o orang siswa. Hanya beberapa orang saja yang
benar-benar melakukan discovery, sedangkan yang lainnya berpartisipasi dalam
proses discovery misalnya dalam system ceramah reflektif. Dalam kelompok yang
lebih kecil, guru dapat melibatkan hamper semua siswa dalam prose situ. Dalam
system ini guru perlu memilki keterampilan memberikan bimbingan, yakni
mendiagnosis kesulitan –kesulitan siswa dan memberikan bantuan dalam memecahkan
masalah yang dihadapi. Namun demikian, tidak berarti guru menggunakan metode
ceramah reflektif sebagaimana halnya pada strategi diatas[15].
Adapun Menurut Ahmad Sabri pendekatan ini merupakan
pendekatan mengajar yang mberusaha meletakkan dasar dan mengembangan berpikir
cara ilmiah. Pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri,
mengembangkan kreatifitas dalam memecahkan masalah. Siswa betul-betul
ditempatkan sebagai subyek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan ini
adalah pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Tugas utama guru adalah
memilih masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa
sendiri. Tiugas beriutnya dari guru adlah menyediakan sumber belajar bagi siswa
dalam memecahkan masalah. Sudah tentu bimbingan dan pengawasan dari guru masih
tetap diperlukan, namun campur tangan interverensi terhadap kegiatan siswa
dalam pemecahan masalah, harus dikurangi.
Pendekatan ini merupakan pendekatan modern, yang sangat
didambakan untuk dilaksanakann disetiap sekolah. Adanya tuduhan sekolah
menciptakan kultur bisu, tiak akan terjadi apabila pendekatan inidigunaka.
Selanjutnya Ahmad Sabri menambahkan bahwa ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan pendekatan ini.
a. Guru harus terampil memilih
persoalan yang relavan untuk diajukan kepada kelas (persoalan yang bersumber
dari bahan pelajaran yang menantang siswa/problematik) dan sesuai dengan nalar
siswa.
b.
Guru harus terampil menumbuhkan
motivasi belajar siswa dan penciptaan situasi belajar yang menyenangkan.
c. Adanya faslitas dan sumber belajar
yang cukup lengkap sehingga dapat memfalisitsi pendekatan ini.
d.
Adanya kebebasan siswa untuk
berpendapat, berkarya dan berdiskusi.
e. Partisipasi seto\iap siswa dalam
setiap kegiatan belajar, dan
f.
Guru tidak banyak campurtangan dan
intervensi terhadap kegiatan siswa.
Serta ada lima tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan
pendekatan ini, yakni:
a. Merumuskan masalah untuk dipecahkan
siswa.
b.
Menetapkan jawaban sementara atau
yang lebih lebih dikenal dengan istilah hipiotesis.
c.
Siswa mencari informasi, data fakta
yang diperlukan untuk menjawab permasalahn atau hipotesis.
d. Menarik kesimpulan jawaban atau
generalisasi.
Dari beberapa penjelasan para pakar tentang bagaimana
pengaplikasian konsep penemuan menurut Jerome Bruner diatas, tentu dapat
dipahami bahwa ada beberapa hal yang benar-benar harus disiapkan dalam
pengaplikasian. Karena konsep ini dalam pengpliksiannya di dalam pembelajaran
memerlukan persiapan dari segi fsilitas, guru dan juga muridnya.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut Bruner perkembangan kognetif
seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat
lingkungan, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik yaitu, tahap enaktif, tahap ikonik dan tahap simbolik.
Ada
tiga tahapan konsep penemuan Jerome Bruner tersebut saling berkaitan. Yaitu:
1.
Tahap informasi (tahap penerimaan
materi)
2.
Tahap transformasi (tahap pengubahan
materi)
3.
Tahap evaluasi (tahap penilaian
materi)
Secara
umum terdapat dua ciri konsep belajar penemuan Jerome Bruner ini, yaitu:
1.
Tentang (discovery) itu sendiri
merupakan ciri umum dari teori Bruner ini, diamana teori ini mengarahkan agar
peserta didik mendiri dalam menemukan, mengolah, memilah dan dan mengembangkan.
Berbeda dengan teori yang lain seperti teori, behavioristik yang belajar
berdasarkan pengalaman tidak memperhatikan aspek kognitifnya seperti teori
discovery Bruner ini.
2.
Konsep kurikulum spiral merupakan
cirri khas dari teori discovery Jerome Bruner ini. Dimana dalam teorinya di
tuntut adanya pengulangan-pengulangan terhadap penegetahuan yang sama namun
diulang dengan pembahsan yang lebih luas dan mendalam.
Kelebihan dan kelemahan konsep ini yaitu belajar mengajar
konsep ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognetif.
Kelemahannya adalah memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin
atau kurang terarah dapat menjerumus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi
yang dipelajari
Impliklasi konsep belajar discovery dalam pembelajaran
yaitu: Simulation, Problem Statement, Data collection, Data prossesing,
Verfication, atau pembuktian. Generalization.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro
Teaching, Ciputat, Quantum Teaching, 2005.
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta,
Rienika Cipta, 2005.
Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran Landasan dan
Aplikasi, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2008.
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta, PT.
Rineka Cipta, 2005.
http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/2008/07/29/%E2%80%9Djerome-bruner-belajar-penemuan%E2%80%9D/
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
Nasution, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan
Mengajar, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2006.
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran berdasarkan
Pendekatan Sistem, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2006.
Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar, Jakarta,
PT. Rineka Cipta, 2001.
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Jakarta,
PT. Rineka Cipta, 2008
dan Aswan Zain, Strategi
Belajar Mengajar, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002.
[5] Nasution,
Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2006), cet. ke-10, h. 9-10
[6] Bambang
Warsita, Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasi, ( Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2008), h. 91
[8]
http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/2008/07/29/%E2%80%9Djerome-bruner-belajar-penemuan%E2%80%9D/
Bambang Warsita, Op. Cit., h.71-72
[12] Syaiful
Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2002) cet, ke-2, h. 23
[15] Oemar
Hamalik, Perencanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2006), cet. ke-5, h. 187-188
[16] Ahmad
Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching, (Ciputat:
Quantum Teaching, 2005), h.12-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar