Selasa, 18 November 2014

FILSAFAT MULLA SADRA



Makalah
FILSAFAT MULLA SADRA



Dosen Pengampu:
Drs. Ainur Rafiq M.Ag

Disusun Oleh
Umi Hadiqotul Jannah
Ahmad Rofiq


STAI AL-FALAH ASSUNNIYYAH

Jl. Semeru No. 09 Telp. (0336) 324 249 Kode Pos 681 67

Kencong – Jember

KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah puji sykur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat, kasih sayang da barokah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yag berjudul FILSAFAT MULLA SADRA ini.
            Sholawat serta salam tidak lupa penulis hanturkan kepada junjungan kita, Rosulullah Muhammad SAW sebagai pembawa refosioner sejati, beserta keluarga, para sahabat dan umatnya sampai hari kiamat, amin.
            Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu untuk penyusunan makalh ini, terutma kepada Bapak Dosen yang telah memberikan penjelasan makalah ini terselesaikan dengan baik.
            Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam jurusan Tarbiyah semester 3.
            Didasari ” Bahwa Tiada gading Ynag Tak Retak ” begitu juga dengan makalah ini masih banya kekurangan dan kekhilafan. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembaca, demi langkah kami ke depan yang lebih baik.           

Jember, 02 Desember 2011
Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di zaman Mulla Sadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan Shafawiyan yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Sadra.
Ayah Mulla Sadra -Khajah Ibrahim Qiwami- seorang negarawan yang cerdas dan mukmin serta memiliki kekayaan yang melimpah dan kedudukannya yang mulia lagi terhormat, namun setelah menunggu bertahun-tahun ia baru dianugerahkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Sadra, setelah dia dewasa kemudian digelari mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Sadra.
Sadruddin Muhammad (Sadra), merupakan anak tunggal seorang menteri raja yang menguasai wilayah luas Pars, hidup di lingkungan yang religius, terhormat dan mulia. Biasanya untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan istana pada saat itu mereka diajar oleh guru privat di rumah mereka sendiri. Sadra seorang anak yang cerdas, semangat dan rajin belajar, dalam waktu yang singkat dia menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan seperti, tata-bahasa Persia, Arab, seni dan tulisan indah. Pelajaran-pelajaran lain yang juga diperlajari misalnya, Fiqih, Logika dan Filsafat, tetapi Sadra yang belum balig waktu lebih condong ke Filsafat dan terkhusus dalam bidang Irfan.

2.      Rumusan Masalah
ü  Bagaimanakah riwayat Mulla sadra
ü  Apa saja karya-karya tokoh Mulla sadra

3.      Tujuan Masalah
ü  Untuk Mengetahui Bagaimanakah Riwayat Mulla sadra
ü  Untuk Mengetahui apa saja karya-karya dan pemikiran Filsafat Mulla sadra




BAB II
PEMBAHASAN
A.Biografi  Mulla  Sadra
           
Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di zaman Mulla Sadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan Shafawiyan yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Sadra.
Ayah Mulla Sadra -Khajah Ibrahim Qiwami- seorang negarawan yang cerdas dan mukmin serta memiliki kekayaan yang melimpah dan kedudukannya yang mulia lagi terhormat, namun setelah menunggu bertahun-tahun ia baru dianugerahkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Sadra, setelah dia dewasa kemudian digelari mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Sadra.
Muhammad Ibrahim bin Yahya Qiwami Syirazi yang digelar Sadr al-Mutaallihin dan lebih dikenal sebagai Mulla Sadra adalah salah seorang filsuf ilahi terbesar dan teragung yang mewarisi secara sempurna filsafat Islam dan pendiri aliran baru dalam filsafat Islam yang dinamakan al-Hikmah al-Muta'aliyah yang terus berpengaruh hingga saat ini.
Syaikh Muhammad Husain Garawi Isfahani Ra[2] bertutur ihwal Mulla Sadra: Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar[3] maka saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina.
Mulla Sadra seorang filsuf yang sederajat dengan filsuf Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Syaikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rusd, Ibnu Miskawai dan lain sebagainya. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan iapun sederajat dengan para urafa seperti Ibnu Arabi.
Dalam kehidupannya ia berupaya jauh dari kehidupan mewah dan tidak mengejar kekuasaan dan tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat awam. Pada tahun 1039 H atau 1631 dia ke desa kecil bernama Kahak yang terletak di dekat kota suci Qum dan menggunakan banyak waktunya untuk pensucian diri, tafakkur tentang hakikat-halikat segala sesuatu dan beribadah kepada Tuhan. Ia meninggalkan desa tersebut dan kembali lagi ke Syiraz pada tahun 1040 H atau 1632.
Mulla Sadra berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid) dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal, ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.
Lebih lanjut dia berkata bahwa seseorang yang tidak sampai pada derajat mukasyafah (penyingkapan) dalam memahami hakikat-hakikat segala sesuatu maka secara hakiki tidak bisa disebut sebagai hakim. Dia katakan bahwa hukum-hukum syariat sesuai dengan ilmu makrifat (filsafat ilahi dan irfan) dan tidak bertentangan satu sama lain.

Kelahiran dan wafat

Mulla Sadra lahir pada tahun 979 H atau 1571 M di kota Syiraz. Ayah Mulla Sadra khajah Ibrahim Yahya Qiwami Syirazi anak dari Qiwamuddin Muhammad seorang wakil raja dari keturunan Muzaffar.
Syiraz saat itu merupakan kota yang paling tenang dan paling indah di bawah kekuasaan raja Muhammad Mirza Khudo Bandeh (saudara Syah Ismail kedua) dari keturunan Shafawiyah, raja ini sangat mendukung penyebaran agama dan mencintai ilmu, ayah Mulla Shadra bekerja di kerajaan tersebut dan dihormati masyarakat karena budi-baiknya.
Syaikh Abdullah Zanjani dalam salah satu karyanya menulis kisah tentang Mulla Sadra, dikisahkan suatu hari ayahnya pergi dan melimpahkan satu pekerjaan kepadanya, setelah kembali dari safar ia meminta laporan pertanggungjawaban keuangan selama ditinggal, dalam laporannya tertulis ada sejumlah besar uang disumbangkan kepada orang fakir, jumlah uang yang disumbangkan tersebut setara dengan jumlah uang yang dinazarkan ayahnya kepada Tuhan ketika memohon seorang anak. Ketika ayahnya menanyakan alasan penggunaan uang sebanyak itu Mulla Sadra menjawab bahwa uang itu adalah uang nazar yang mesti dibayarkan. Ia sangat terperanjat mendengar jawaban anaknya karena hal itu tidak pernah disampaikan kepadanya.
Mulla Sadra dilahirkan di zaman dimana cahaya filsafat redup dan tiada pendukungnya, Tuhan Yang Maha Bijaksana kemudian memilih hamba-Nya dan mengutus untuk menyempurnakan dan menyebarkan ilmu tersebut setelah sebelumnya mengutus secara bertahap filsuf-filsuf untuk menyiapkan lahan demi menerima hakikat-hakikat yang lebih tinggi.
Filsuf Ilahi ini meninggal tahun 1050 H atau 1640 M di kota Bashrah dalam perjalanannya yang ketujuh ke Mekkah dengan berjalan kaki. Filsuf Sayyid Abul Hasan al-Qazwini Ra berkata: empat puluh tahun yang lalu saya bertanya tentang kuburan Mulla Sadra kepada salah seorang Arab yang tinggal di Najaf Asyraf Iraq yang sering ke kota Bashrah Iraq, orang Arab tersebut menjawab di kota Bashrah ada kuburan yang dikenal dengan kuburan Mulla Sadra Syirazi, tapi peneliti sejarah tidak pernah menemukan tanda-tanda kuburan filsuf tersebut mungkin karena pengaruh perubahan tata letak kota mengakibatkan kuburan tersebut hancur, wallahu a'lam bihaqayikil umur.
B.Pemikiran dan Karya-karya Mulla Sadra
Salah satu perubahan mendasar dan monumental yang dapat kita saksikan dalam deretan argumentasi-argumentasi filsafat tentang penegasan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan terdapat pada burhan shiddiqin (argument of the righteous). Burhan ini, sejak dicetuskan di zaman Al-Farabi dan Ibnu Sina hingga sampai ke tangan Mulla Sadra mengalami dua perubahan penting dan mendasar, dua perubahan itu antara lain: pertama, masuknya unsur teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujud) dari irfan teoritis ke dalam burhan shiddiqin, kedua, berpengaruhnya konsep gradasi wujud (tasykik al-wujud) ke dalam burhan shiddiqin.
Mulla Sadra mengadopsi dua konsep tersebut di atas dan menggabungkan dua konsep tersebut sehingga melahirkan dan menghasilkan satu bentuk argumentasi filosofis yang baru, logis, kuat dan ringkas dalam menegaskan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan. Dengan demikian, terjadi perubahan yang sangat prinsipil dan penting khususnya berkaitan dengan tolok ukur dan defenisi burhan shiddiqin itu sendiri. Burhan shiddiqin, hingga abab sekarang ini, didefenisikan sebagai suatu burhan dimana dalam penegaskan eksistensi Tuhan tidak menggunakan perantara selain wujud Tuhan sebagai bagian dari kontruksi argumentasinya. Berdasarkan defenisi tersebut, burhan shiddiqin bisa dianalogikan dengan ungkapkan: Wujud matahari tanda dan dalil bagi matahari itu sendiri, dan wujud Tuhan dalil bagi wujud-Nya sendiri.

Dasar-Dasar Burhan Shiddiqin dalam Filsafat Mulla Sadra
Burhan shiddiqin dalam Hikmah Muta'aliyah berpijak pada beberapa prinsip, antara lain:
a. Kehakikian wujud (Ashâlah al-Wujud)
Berdasarkan prinsip tersebut, hakikat wujud adalah secara esensial merupakan realitas hakiki dari komprehensi dan pemahaman atas wujud dan kuiditas hanyalah sebuah komprehensi yang menceritakan tentang batasan dari hakikat wujud dan secara aksiden dipredikasikan atas hakikat wujud. Oleh karena itu, walaupun pikiran kita ketika berhadapan dengan realitas segala sesuatu, pada tingkatan pertama, yang dicerap dan diindera adalah kuiditas mereka (mahiyah), tetapi sebenarnya yang dicerap secara hakiki adalah wujud segala sesuatu itu dimana di alam luar merupakan suatu kenyataan yang benar-benar berwujud.
Mulla Sadra mengambil prinsip ini dari irfan teoritis dan kemudian menjabarkannya secara filosofis serta menjadikannya sebagai landasan dan pondasi bagi sistem filsafat yang dikontruksinya.
b. Gradasi Wujud (Tasykik al-Wujud)
Dalam perspektif Hikmah Muta'aliyah, wujud merupakan suatu realitas yang tunggal dimana dalam kesatuan dan ketunggalannya memiliki banyak tingkatan dan gradasi; gagasan ini berlawanan dengan pemikiran kaum peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud itu secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tak memiliki unsur kesamaan serta yang ada di alam adalah kejamakan murni; gagasan tersebut berbeda dengan konsep para sufi dan 'arif tentang ketunggalan dan kesatuan wujud yang bersifat individual (wahdah al-syakhsh al-wujud) dan menolak secara ekstrim adanya kejamakan wujud; gagasan itu juga bertentangan dengan pemikiran Muhaqqiq Dawwani tentang kesatuan wujud dan kejamakan maujud.

c. Prinsip Kausalitas
Dalam pandangan Mulla Sadra, akibat (ma'lul) adalah keterikatan dan kebergantungan kepada sebabnya itu sendiri ('illat) dan sedikitpun tak memiliki kemandirian. Kebergantungan wujud itulah, dengan istilah al-imkan al-faqr, yang melahirkan kebutuhan akibat kepada sebab.
Berdasarkan prinsip kehakikian wujud, tafsiran atas teori kausalitas tersebut bisa dengan mudah diterima, karena jika realitas segala sesuatu itu didasari oleh wujud dan bukan kuiditas maka kebutuhan mereka kepada sebab juga bersifat eksistensial dan hakiki. Maka dari itu, Mulla Sadra menolak watak kebergantungan kuiditas sebagai tolok ukur kebutuhan kepada sebab.
Karya-karya Mulla Sadra

1. Al-Hikmah al-Muta'âliyah fi al-Asfar al-Arba'ah: kitab ini adalah magnum opusnya dan induk dari semua karya-karyanya serta paling lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filsuf. Kitab ini terbagi dalam empat perjalanan: perjalanan dari makhluk ke Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke Tuhan bersama Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke makhluk bersama Tuhan, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan.
2. Ittihâd al-?qil wa al-Ma'qul: risalah ini merupakan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan khusus yang ada di kitab Asfar.
3. Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud: risalah ini menjelasakan tentang bagaimana hubungan kesatuan antara esensi (mahiyat) dengan eksistensi (wujud).
4. Ajwibatu al-Masail: kandungan risalah ini tentang penjelasan kekuasaan Tuhan, substansi, pengertian aksiden dan masalah-masalah komposisi dan terbentuknya materi dan jawaban Mulla Sadra atas pertanyaan yang ditujukan kepada filsuf Nashruddin Thusi dari seseorang tapi tidak terjawab, pertanyaan tersebut berkisar: gerak merupakan sebab dari waktu, penciptaan jiwa manusia, bagaimana terpancarnya kejamakan dari ketunggalan wujud..
5. Ajwibatul al-Masâil an-Nashiriyat: berisi lima persoalan antara lain: pertanyaan tentang gerak, tentang jiwa nabati, bagaimana hadirnya gambaran sesuatu dalam pikiran, perbedaan pengindraan hewan dan manusia, penciptaan jiwa setelah kematian.
6. Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat: Kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu Ketuhanan, perbuatan ilahi dan ilmu tentang alam akhirat.
7. Aksirul 'Arifin: tentang makrifat-makrifat yang tinggi, membahas tentang pembagian ilmu-ilmu dan makrifat nafs (ilmu jiwa).
8. At-Tasyakhkhush: berisi tiga bab tentang pembahasan umum wujud.
9. At-Tasawwur wa at-Tashdiq: berhubungan dengan pembahasan logika tapi khusus mengupas masalah-masalah tolok ukur kebenaran pemahaman manusia.
10. Ta'liqât 'ala al-Hikmat al-Isyrâq: catatan-catatan kaki Mulla Sadra atas buku Syaikh Isyraq Suhrawardi.
dst.

Hikmah Muta'aliyah

Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Sadra memiliki pengertian khusus yaitu mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya.
Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang hikmah muta'aliyyah berkata: hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang belum mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).
Hikmah Muta'aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.
Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filsuf ilahi. Syariat yang benar tidak mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.
Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai dengan syariat, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar maka merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah mencapai ilmu huduri.
Menurut filsuf ini fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia, jika prilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan makrifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.
Dalam filsafat Mulla Sadra empat aliran berpikir - aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf - tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-Muta'aliyah, aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.
Aliran filsafat Mulla Sadra mampu menggabungkan antara dotrin Islam dengan pemikiran filsafat. Al-Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir al-Quran dan hadis bisa dinamakan sebuah kitab filsafat.


BAB III
KESIMPULAN
Mulla Sadrā memandang akal dalam dua hal penting ; pertama, Seluruh asal dari kebenaran wahyu dan kenabian serta agama berasal dari akal dan merupakan jembatan untuk sampai pada syariat. Kedua, akal manusia meskipun derajatnya lebih rendah dari wahyu dan agama dalam membimbing manusia akan tetapi kejelasannya dan benderangnya tidak kurang dari wahyu. Meskipun demikian tidak sedikitpun terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Akal yang sehat dengan Wahyu yang benar dalam pandangan Mulla Sadrā, keduanya adalah satu warna.
Bagi Mulla Sadrā akal dan wahyu merupakan hal yang satu dan berasal dari tempat yang satu yaitu Ruh Kesucian (Ruh al-Quds) atau Intelek Aktif (Aql Fa’āl) dan bagi Mulla Sadrā tidak terbayangkan diantara kedua hal tersebut terjadi pertentangan. Karenanya Akal berfungsi sebagai penopang rasional bagi penyaksian ruhaniah (Musyāhādah) dan penyaksian ruhaniah merupakan puncak tertinggi dari upaya menyerap pengetahuan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan Mulla Sadrā mengambil tiga sumber mendasar dan melakukan harmonisasi diantara ketiga hal tersebut dan menjadikan warna filsafat tersendiri yang jauh lebih sempurna dari pemikiran yang berkembang sebelumnya. Karenanya ada banyak tokoh yang memandang Mulla Sadrā sebagai Filosof Peripatetik, Teosof Iluminasi sekaligus Teolog Islami. dari berbagai sumber.




DAFTAR PUSTAKA
Nur Syaifun, Filsafat Wujud Mulla Sadra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi, Omuzesy falsafe (pengajaran filsafat), jilid 1.

www.artikel4wisdom.com, makalah ini diakses pada 5 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar