Selasa, 18 November 2014

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN (makalah)



BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Tindakan kekerasan sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun sekolah. Dalam menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan selalu disertai dengan tindakan kekerasan. Secara umum, tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi juga berbentuk eksploitasi psikis. Dan justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban.
Dewasa ini, sering terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan yang sudah menjadi sorotan masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul siswa telah menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring dengan meningkatknya agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah. Tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah Bullying.
Tindakan kekerasan dalam pendidikan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, misalnya teman sekelas, kakak kelas dengan adik kelas, guru dengan muridnya dan pemimpin sekolah dengan staffnya. Tindakan kekerasan tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan meskipun terdapat beberapa alasan tertentu yang melatarabelakanginya. Tindakan kekerasan juga bisa terjadi dalam bentuk aksi demonstrasi mahasiswa, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk lisan. Misalnya, mencaci maki, berkata kasar dan kotor, serta tawuran yang terjadi antar mahasiswa.

B.      RUMUSAN MASALAH
Masalah adalah suatu kendala atau persoalan yang harus dipecahkan agar tercapainya tujuan dengan hasil yang maksimal.
Dalam makalah ini, masalah yang akan dipecahkan adalah:
1.      Bagamaina paparan kekerasan apabila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan Indonesia?
2.      Mengapa terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan? Dan Apa dampak dari kekerasan dalam dunia pendidikan?
3.      Bagaimana solusi mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan?

C.      TUJUAN PENULISAN
Tujuan merupakan langkah pertama dalam proses mencapai kesuksesan, dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui alasan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan.
2.      Untuk mengetahui alasan dan dampak terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan.
3.      Untuk mengetahui solusi mengatasi kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan.












BAB II
PEMBAHASAN

1.    Paparan Kekerasan Ditinjau dari Berbagai Landasan Pendidikan Indonesia

a.      Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
1)      Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
2)      Pasal  4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas).
3)      Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)   Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual, yaitu:
Pasal 81
(1)   Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)   Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” (UU Perlindungan Anak).
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa siswa wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.
Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” (UU Perlindungan Anak).

b.      Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan
Kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan disebut corporal punishment, yaitu adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan (W.W. Charters, 197).
Namun pada dasarnya, tindakan kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Selain itu, kekerasan fisik terhadap anak juga bisa berbentuk seksual (pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan dst).
Adapun kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain.
Dalam dunia pendidikan dikenal adanya sistem pemberian reward (hadiah) dan punishment (hukuman). Yang mana reward dan punishment tersebut pada umumnya dikorelasikan dan dianggap berasal dari pembahasan reinforcement (dorongan, dukungan, motivasi), yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901). Dorongan atau motivasi tersebut ditujukan untuk memperkuat sikap/tingkah laku individu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila reinforcement ini ditiadakan, maka sebagai akibatnya perbuatan individu tersebut akan melemah.
Dalam teori umum manajemen yang juga diadopsi dalam manajemen pendidikan, berkenaan dengan reward dan punishment ini, dikenal adanya teori X dan teori Y yang dikemukakan oleh Mc. Gregor. Teori X dianggap sebagai teori “konvensional” yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia itu pemalas. Oleh karena itu mereka harus selalu diawasi serta dimotivasi oleh rasa takut akan menerima hukuman dan bahwa mereka mencoba sebanyak mungkin untuk menghindar dari rasa tanggung jawab (responsibility).
Sebaliknya, teori Y yang dikenal sebagai pendekatan perilaku (attitude approach) mengatakan bahwa usaha fisik dan mental adalah sama alamiahnya dalam kerangka pekerjaan, bermain ataupun istirahat. Oleh sebab itu, ancaman hukuman menurut teori ini bukan merupakan sarana yang baik dan tepat untuk membujuk seseorang menjadi rajin. Komitmen terhadap tujuan sudah merupakan penghargaan tersendiri dan bahwa rata-rata manusia belajar untuk mencari tanggung jawab dan bukan untuk menghindarinya.
Berkenaan dengan hal ini, menurut kaca mata Islam, konsep pemberian hadiah dan pemberian hukuman juga bukan merupakan terma yang asing lagi. Alquran al-Karim sendiri banyak memuat dan menyinggung kedua konsep ini, di antaranya dalam Surat al-Taubah ayat 74, al-Ruum ayat 10, al-Bayyinah ayat 6 dan 8, al-Baqarah ayat 61-62, al-Ankabut ayat 53 dan 58, dan Ali Imran ayat 10 dan 21.
Seorang pemikir Islam terkemuka, al-Ghazali, berpendapat bahwa reward sudah sepantasnya diberikan kepada peserta didik yang berprestasi di depan anak-anak yang lain. Tujuannya adalah agar anak-anak yang lain menjadi termotivasi untuk berbuat kebaikan yang serupa.

2.     Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan

a.      Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Tindak kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Seperti pada akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Sementara di Surabaya, seorang guru olehraga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tetapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara camping. Selain tersebut di atas, masih banyak lagi kasus kekerasan pendidikan yang melembari wajah pendidikan kita.
Dari beberapa kasus yang tersebutkan di atas, terdapat beberapa analisa tentang faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan, antara lain yaitu:
1.      Kekerasan dalam dunia pendidikan muncul karena adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antar pelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah.  Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
2.      Kekerasan dalam dunia pendidikan juga bisa dikarenakan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.
3.      Kekerasan dalam dunia pendidikan dipengaruhi juga oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
4.      Kekerasan dalam dunia pendidikan bisa dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Pelaku kekerasan sering muncul karena Ia mengalami himpitan sosial-ekonomi.

Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya, masyarakat kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru, dan antara siswa sendiri. Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) atau bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive).
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
1.      Kekerasan terbuka (overt) yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung; seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah pada 2011 yang lalu, yaitu kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI Yogyakarta (SMK Negeri 1 Kasihan), terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang.
2.      Kekerasan tertutup (covert) yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung; seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta pada April 2006 lalu, tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
3.      Kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan mobil di Universitas Jember. Kaca mobil Kijang Innova (P 1047 RG) pecah saat diparkir di depan sebuah rumah kos di Jalan Mastrip II Jember.
4.      Kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo dan lainnya, sengketa tanah antara warga dengan pihak dari sebuah sekolah, dan lain sebagainya.

b.      Dampak Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Dampak kekerasan dalam dunia pendidikan (baik pendidikan formal maupun non formal) pada anak dapat membawa dampak negatif secara fisik maupun psikis.  Dampak negatif tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Secara fisik, kekerasan ini mengakibatkan adanya kerusakan tubuh seperti: luka-luka memar, luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat, tungkai, luka lecet, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan jaringan-jaringan lunak, pendarahan dibawah kulit, dehidrasi sebagai akibat kurangnya cairan, patah tulang, pendarahan otak, pecahnya lambung, usus, hati, pancreas. Sedangkan pada penganiayaan seksual bisa berakibat kerusakan organ reproduksi seperti: terjadi luka memar, rasa sakit dan gatal-gatal di daerah kemaluan, pendarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina, sulit untuk berjalan dan duduk serta terkena infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.
2.      Secara psikis,  anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan: penarikan diri, ketakutan atau bertingkah laku agresif, emosi yang labil, depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stress pasca trauma dan terlibat penggunaan zat adiktif, kesulitan berkomunikasi atau berhubungan dengan teman sebayanya.
Mereka akan menutupi luka-luka yang dideritanya serta tetap bungkam merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam. Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa anak menyebabkan anak berpotensi memiliki gangguan kepribadian ambang sehingga kelak anak juga berpotensi menderita depresi pada masa dewasanya. Disamping itu timbulnya gejala disaosiasi termasuk amnesia terhadap ingatan-ingatan yang berkaitan dengan penganiayaannya (Suyanto & Hariadi, 2002). Selain itu kekerasan yang terjadi pada anak dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak, sehingga kreativitas dan produktivitas anak menjadi terpasung, yang pada akhirnya mengakibatkan self development yang optimal pada diri anak tidak tercapai. Lebih jauh, jika kekerasan tersebut terjadi di sekolah maka anak akan menaruh kebencian terhadap sekolah dan jika kekerasan tersebut terjadi dalam keluarga maka anak akan tidak betah dirumah.
Dampak lain yang timbul dari efek bullying ini adalah menjadi pendiam atau penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri.

3.     Solusi Mengatasi Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek kekerasan dalam dunia pendidikan, tetap saja hal itu adalah suatu kesalahan. Sekolah sepatutnya tempat bagi siswa untuk berkembang. Namun, di saat kekerasan terjadi di sekolah, sekolah justru mematikan perkembangan psikologi siswa.
Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu, tanpa harus menggunakan kekerasan.
1.       Tindakan Alternatif
Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan.
Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi orang dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.

2.       Keakraban Penuh Keterbukaan
Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa.
Di dalam keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling menghargai dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan dan menerima apa adanya.
Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka dari gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh sang guru.

3.       Komunikasi yang Jujur
Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan.  Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam kebenarannya setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kebenaran dan kenyataan.
Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap orang lain.  Sampaikan kepada anak didik kebenarannya; arahkan kemarahan kita terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan dan penipuan.

4.       Hormati Kebebasan dan Persamaan
Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara, setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian.  Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan.  Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu.
Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia dan menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri dihormati.  Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka.  Jika kita mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah melakukan kesalahan.  Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.

5.       Rasa Kasih yang Berani
Bertentangan dengan kepercayaan umum, pendidikan tanpa kekerasan bukan sebuah metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para penakut. Tindakan tanpa kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian dibanding perkelahian dengan kekerasan seperti dalam peperangan, meski tampaknya itu semacam keberanian.  Karena jika kita melihat lebih jauh penggunaan senjata merupakan kompensasi dari rasa takut terhadap lawan. Dan tindakan kekerasan merupakan bukti adanya perasaan takut lawan lebih dulu melakukannya terhadap kita. Jadi melakukan tindakan tanpa kekerasan menunjukkan ketinggian martabat yang penuh keberanian.
Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati kita.  Rasa kasihan bisa digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain di dalam merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai keberanian dan kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu.  Di dalam rasa kasihan, kita tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci kepada anak didik yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan hati dan kepedulian, kita memperbaikinya.  Rasa kasihan datang dari rasa kesatuan dengan orang lain, memperluas hati kita sehingga kita bisa merasakan empati atas penderitaan orang lain dan menolong mereka.



6.       Saling Mempercayai Secara Penuh
Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi siapapun, dan akan menghasilkan kebaikan juga.  Alih-alih mengendalikan anak didik dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan kecerdasan masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan komunikasi yang baik dan negosiasi.
Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan kepercayaan itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya.  Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan membabi buta.  Kita harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara terus menerus.

7.       Ketekunan dan Kesabaran
Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat revolusioner.  Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun, tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan.  Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat aktif dan bergolak.  Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa pemikiran atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi.  Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk berpikir tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan bertindak efektif.  Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang kecil dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan tidak dipersiapkan.  Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika kita berusaha memecahkan persoalan, karena di lain waktu kita akan siap untuk bertindak dengan cara yang baik.
Tidak seperti cara militer yang cepat dan kasar, pendidikan tanpa kekerasan bersifat melambat dan dimulai dengan peringatan-peringatan untuk memberikan kesempatan kepada anak didik secara sadar berpikir bagaimana seharusnya.  Kita tidak menghendaki anak didik bereaksi dengan cepat secara insting.  Kita menghendaki anak didik mengetahui metoda-metoda kita sehingga mereka dapat menanggapi sama tenang dan cerdasnya.
Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita.  Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain.  Jika jalannya mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga memerlukan perhatian.  Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan.
Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan di saat yang sama gigih dalam membantu.  Ketika anak didik mengakui bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka.  Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua, bersama-sama dengan anak didik dalam damai dan keadilan.









BAB III
PENUTUPAN

Kesimpulan
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Proses pemberian punishment (hukuman) yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan psikis yang cenderung mencederai tubuh dan jiwa peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah saw. sebagai sosok teladan seluruh umat manusia di bumi-Nya ini telah memberikan bukti-bukti nyata; Bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih sayang, keuletan serta kesabaran, dan bukan dengan cara kekerasan.
Namun demikian, tentu saja hal ini tidak dapat kemudian dimaknai dengan memanjakan si anak. Pemberian reward yang tidak pada tempatnya atau berlebihan (apalagi kalau selalu berbentuk material), justru akan menimbulkan kesan yang negatif pada diri si anak. Karena hal ini secara langsung akan menggiring mereka untuk berprinsip tidak akan berbuat baik bila tidak diberikan hadiah.
Di sinilah para pendidik (guru, dosen, ustadz, dan lain-lain) dituntut untuk memahami jiwa peserta didik. Yang perlu dicatat adalah bahwa tugas dan kewajiban mereka bukan hanya sebagai penyampai dan pemberi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi juga sekaligus counsellor (pembimbing) dan suri teladan yang baik.




DAFTAR PUSTAKA

Alifuddin, MM. 2012. Reformasi Pendidikan (Strategi Inovatif Peningkatan Mutu Pendidikan. Jakarta: MAGNAScript Publishing.
Marno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam. Malang: Refika Aditama.
Miftah, Zainul. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Bimbingan & Konseling. Surabaya: Gena Pratama Pustaka.
Rohani, Ahmad, HM. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
UUD 1945 Negara Republik Indonesia.

2 komentar: