Selasa, 18 November 2014

MAHKUM ALAIH (MAKALAH)



BAB I
PENDAHULUAN
1.          LATAR BELAKANG
Manusia adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan dan segala apa yang dilakukan selalu ada konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya manusia ditugaskan sebagai khalifah di bumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas dari pertanggung jawaban. Dalam kehidupan sehari-hari seperti, melakukan akad jual beli, utang piutang, atau dalam menjalankan ibadah seperti haji, manusia dalam hal ini sebagai Mahkum ‘alaih dapat dikatakan sah karena sudah memenuhi persyaratan yang ada, atau mungkin status sahnya diurungkan untuk sementara dikarenakan  ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga  dapat menjadikan manusia sebagai mukallaf atau seorang yang sudah dikatakan cakap hukum, sehingga apa yang dilakukan dan diucapkan sudah sah, sempurna, layak (ahliyah)secara hukum.
2.      RUMUSAN MASALAH
·         Pengertian mahkum alaih
·         Pengertian taklif serta syarat-syarat taklif
·         Pengertian ahliyah serta macam-macam ahliyah

3.      TUJUAN
·         Supaya mahasiswa mengerti tentang mahkum alaih
·         Memberikan wawasan tentang taklif serta syarat-syarat nya
·         Memberi pengertian ahliyah serta macam-macam ahliyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.  MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)
1. Pengertian Mahkum Alaih
            Ulama’ ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih seseorang yang dikenai khitab Allah ta’ala dimana perbuatannya diberhubungan dengan hokum syari’at, yang disebut mukallaf.
            Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hokum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf juga disebut dengan mahkum alaih (subjek hokum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hokum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan Nya. Semua tindakan hokum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangannya akan mendapat siksa atau resiko dosa karna melanggar aturanNya, disamping tidak memenuhi kewajibannya.
Seseorang dikatakan mukallaf jika telah mememnuhi syarat-syarat berikut:
a.       Mukallaf mampu memahami dalil taklif (pembebanan). Seperti jika dia mampu memahami nash-nash hokum yang dibebankan kepadanya dari alqur’an dan assunnah secara langsung atau dengan perantaraan.Karena orang yang tidak mampu memahami dalil taklif, tentu dia tidak akan dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan pembebabanan tidak akan tercapai.seperti contoh:
Kewajiban zakat, nafkah dan jaminan atas anak kecil dan orang gila bukan merupakan beban atas keduanya, akan tetapi beban si wali untuk melaksanakan kewajiban harta, sebagaimana membayar pajak dan harta milik keduanya.
images.jpeg

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS. An Nisa’:43)
             Tidaklah merupakan beban bagi orang mabuk pada saat mabuk melakukan sholat, tetapi beban bagi kaum muslimin diwaktu sehat untuk tidak meminum khamr ketika dekat waku sholat
b.      Mukallaf adalah ahli dalam suatu yang dibebankan kepadanya. Ahli menurut bahasa artinya layak dan pantas.
Keadaan manusia di hubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
·         Tidak sempurna, Artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak baginya kewajban. Contoh janin yang ada dalam perut ibu, baginya ada beberapa hak. Ia dapat berhak menerima harta dan bias menerima wasiat tetapi tidak mampu melaksanakan kewajiban.
·         Secara sempurna artinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan layak melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukallaf).

2. Taklif
2.1 Dasar Taklif
            Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. tanggung jawab melaksanakan syariat dalam segala aspek kehidupan. Pemikul tanggung jawabnya adalah mukallaf. Ia adalah mukmin yang memenuhi syarat balig dan berakal sehat. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bias memahami taklif dari syar’i (Allah dan Rosul Nya). Termasuk dalam golongan ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan itu mereka tidak sadar (hilang akal). Sebagaimana sabda Rosulullah:
“ Di angkat pembebanan hokum dari tiga (jenis orang) ; orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai balligh, dan orang gila sampai ia sembuh. “
(HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu majjah dan daru Guthni dari aisyah Ali ibnu Abi Thalib)
Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif di peruntukkan bagi orang yang diannggap cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hokum
2.2. Syarat-Syarat Taklif
·         orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.Kemampuan untuk memahami taklif ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan seseorang berakal atau belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya seseorang yaitu dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya umur lima belas tahun.
Seperti ditegaskan dengan firman Allah SWT. Dalam surat An-Nur: 15
4.jpeg
Artinya:
“Apabila anakmu sampai umur balligh, maka hendaklah mereka meminta izin,seperti mereka yang sebelumnya meminta izin”
            Ayat di atas dianggap sebagai syarat pertama taklif, bahwa anak kecil tidak dikenakan taklif, karena keadaan mereka tidak atau belum memahami dalil syara’.

·         Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah.maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.


3. Ahliyah
3.1 Pengertian Ahliyah
Secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut
Adapun Ahliyyah secara terminology
“suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.” (Al- Bukhari : II :1357)
Perkataan “ahliyah” dalam bahasa arab digunakan untuk arti الجدارة والكفا ئة yang terjemahnya yaitu kelayakan dan kepatutan.
Dikalangan para ‘Ulama perkataan “ahliyah” mempunyai pengertian tersendiri, namun tidak menyimpang dari pengertian menurut bahasa. Telah banyak rumusan pengertian ahliyah yang dikemukakan oleh para ‘Ulama, namun isinya antara yang satu dengan yang lain tidaklah berbeda. Diantaranya ialah rumusan pengertian ahliyah yang dikemukakan oleh Musthafa Ahmad Az-Zarqa’ dalam kitabnya “Al Fiqhul Islamy fi tsaubihil jaded”. yakni:
صفة يقد رها الشارع في الشخص تجعله محلا صا لحا لخطاب تشريعى
Artinya: Suatu sifat yang ditetapkan oleh syara’ pada diri seseorang yang menjadikan ia (orang itu) tempat yang pantas bagi berlakunya khitbah (hukum-hukum)
Jadi ahliyah adalah kelayakan atau kecakapan atau kemampuan seseorang untuk memiliki hak-hak yang ditetapkan baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain yang dibebankan kepadanya atau untuk dipandang sah oleh Syara’ perbuatan-perbuatannya.


3.2 Pembagian ahliyyah
1. Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya,baik yang bersifat positif maupun negatif.ukuran untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan cerdas. Adalah kelayakan diberi beban sehingga seorang dianggap pantas menurut syara’ atas ucapan dan perbuatannya. Sehingga apabila orang tersebut mengadakan suatu ikatan perjanjian aatau tasharruf tentang sesuatu, maka menrut syara’ hal tersebut dianggap sah dan terlaksana. Demikian pula apabila ia melaksanakan kewajiban seperti shalat dan haji maka menurut syara’ semua dianggap sah dan dapat menggugurkan kewajibannya. Demikian juga bila ia melakukan tindak pida ia akan terkena hukuman.
Jadi, yang dimaksud dengan ahliyah ’ada adalah kemampuan mempertanggung jawabkan. Prinsip dasarnya adalah kemampuan membedakan segala sesuatu dengan akalnya.
Keadaan Manusia Dikorelasikan dengan Ahliya ‘ada
Dalam hal ini manusia dapat diklasifikasikan menjadi 3 keadaan, yaitu:
1. Manusia secara determinis terkadang tidak mempunyai keahlian melaksanakan, atau kehilangan keahlian melaksanakan.
Dalam hal ini berlaku pada anak-anak ketika masa kanak-kanak dan pada orang gila. Anak-anak dan orang gila tersebut tidak mempunyai akal, juga tidak memiliki keahlian melaksanakan, dan segala ucapan maupun perbuatan tidak kenai syara’. Untuk hal itu maka seluruh akad dan pengelolaannya dianggap batal.
Batas maksimalnya apabila salah satu diantara keduanya melkukan tindak pidana terhadap jiwa atau harta orang lain, maka hukuman bagi keduanya dikenai hukuman harta bukan hukuman fisik. Jadi apabila anak-anak dan orang gila itu membunuh atau merusak harta orang lain maka hukumannya adalah denda atas harta yang dirusak atau pembunuhan yang telah mereka lakukan, dan tidak diberlakukan qisos bagi mereka berdua. Sebagaimana pendapat Ulama’ fiqh” Kesengajaan anak-anak atau orang gila adalah kekeliruan .”, karena selama tidak ada akal, tidak ada pula hasrat ataupun kesengajaan.
2. Manusia terkadang tidak sempurna dalam ahliyah ’ada-nya, yaitu saat anak usia remaja (mumayyis).
Hal ini berarti mencakup anak-anak yang masih dalam usia remaja sebelum ia baliggh. Termasuk pula orang yang kurang berakal, karena orang yang kurang berakal itu tidak cacat akalnya namun ia hanya lemah dan kurang akal, oleh karena itu hukum yang dikenakan baginya dikategorikan sebagai anak remaja. Masing- masing dari anak dan orang yang kurang berakal itu, sah secara pribadi tanpa perantara unutk mengelola sesuatu yang berguna, seperti menerims hibah dan sedekah tanpa mendapat izin dari walinya.
Adapun mengelola sesuatu secara pribadi tanpa perantara yang berbahaya seperti berbuat amal ibadah, maka perbuaatannya dianggap tidak sah sama sekali, sekalipun diizinkan oleh walinya. Sementara perbuatan mengelola sesuatunya yang berguna atau berbahaya dapat dianggap sah pengelolaannya setelah ada izin dari walinya, tetapi harus ditangguhkan, dengan ketentuan, jika walinya mengizinkan mengizinkan mengadakan ikatan perjanjian atau pengelolaan, dan ikatan perjanjian atau pengelolaan lancar itu dianggap sah.
Apabila tidak lancar, maka batallah ikatan perjanjian atau pengelolaannya itu. Pada dasarnya ikatan perjanjian atau pengelolaan dari anak remaja atau orang yang kurang berakal adalah atas telah permanen keahlian asli melaksanakan. Adapun penangguahan sahnya ikatan perjanjian tersebut karena kurang dalam ke-ahliyahan.
3. Manusia terkadang sempurna dalam ke-ahliyahan melaksanakan(ahliyatul ’ada)
yaitu orang yang telah sampai pada usia dewasa dan berakal, Sehingga ahliyatul ’ada yang sempurna dinyatakan dengan kedewasaan atau akalnya.
2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani seluruh kewajiban, Adalah kelayakan seseorang dikarenakan layaknya ada hak-hak dan kewajiban padanya. Dasar kelayakan ini adalah adanya karakteristik tertentu yang diciptakan Allah kepada semua manusia dan menjadi spesifikasi diantara berbagai macam binatang yang ada. Spesifikasi tersebut oleh Ulama’ Ushulul Fiqh disebut Dzimmah. Dzimmah adalah sifata naluri kemanusiaan yang dengannaya manusia dianggap mampui menerima ketetapan hak-hak orang lain dan dianggap mampu menerima kewajiban orang lain pula.
Ke-ahliyahan tersebut bersifat eternal pada setiap orang, sehingga dengannya makhluk hidup dapat dikenal sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan, janin atau anak-anak, anak yang sudah mumayyis atau sudah baligh, sehat atau sakit, berkenaan dengan terdapatnya ke-ahliyahan itu yang secara spesifik bernaluri kemanusiaan, jadi, pada dasarnya semua manusia, apakah dia mempunyai ke-ahliyahan(kelayakan) wajib,  yang jelas tidak ada seorangpun yang tidak mempunyai keahliyan wajib itu, sebab ke-ahliyahan wajib itu adalah sebagai tanda kemanusiaannya.
Keadaan Manusia Dikorelasikan dengan Ahliyah wujub
Manusia bila dihubungkan dengan Ahliyah wujub dapat diklasifikasikan menjadi dua keadaan, yaitu:
1. Ahliyah al-wujub al-naqisah
Manusia terkadang mempunyai ke-ahliyahan wajib yang kurang sempurna, artinya apabila hanya pantas baginya diberikan beberapa ketentuan namun tidak hak, wajib atasnya beberapa kewajiban, atau sebaliknya. Ulama’ memberikan contoh janin  yang ada di perut ibunya. Sesungguhnya janin itu mempunyai ketentuan beberapa hak, diantaranya ia berhak menerima harta pusaka dan berhak menerima wasiat, tetapi ia tidak dikenakan atas kewajiban-kewajiban orang lain.
2. Ahliyah wujub kamilah
Manusia terkadang mempunyai keahlian wajib secara eternal dan permanen, artinya apabila pantas baginya diberikan hak dan kewajiban. Keahlian ini bersifat permanen bagi semua manusia sejak ia lahir, jadi bagaimanapun juga setiap orang sejak masa kanak-kanak hingga baligh dan dewasa dan dalam keadaan bagaimanapun, memiliki keahlian wajib secara sempurna, dan tidak ada seorang pun yang tidak memppuyai ahliyah wujub.
3. penghalang (Awaridh) dan pembagiannya.
Ke-ahliyahan wajib itu bersifat permanen bagi manusia selama masih memiliki sifat  kemanusiaan, meskipun manusia itu masih dalam bentuk janin, ia juga tetap memiliki kepermanenan ke-ahliyahan secara tidak sempurna dalam masa kanak-kanaknya. Sehingga selama hidup ke-ahliyahan ini tidak akan menjadi berkurang atau hilang.
Dalam pembahasan awal bahwa seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum.seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:
  1. Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Alloh bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa
2.      Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk,terpaksa,bersalah,dibawah pengampunan dan bodoh
Penghalang-penghalang yang datang pada ke-ahlian ’ada diantaranya ada yang datang, lalu dapat menghilangkan sama sekali ahliyah a’da-nya, seperti gila, tidur, dan pingsan. Sehingga orang tersebut tidak sah pengelolaannya. Penghalang lain yang datang pada manusia namun hanya mampu mengurangi ke-ahliyahan ’adanya adlah sifat kurang akal. Pada orang ini sebagian tasharruf dapat dianggap sah dan sebagian yang lain dianggap tidak sah, hal tersebut terjadi pada anak usia remaja(baligh).
Ada penghalang lain yang datang pada manusia tetapi tidak mempengaruhi ke-ahliyahan, tidak menghilangkan, dan tidak menguranginya, akan tetapi merubah hukum-hukunya karena ada anggapan dan keuntungan yang menghendaki perubaahan ini, bukan karena kehilangan atau kekurangan ke-ahliyahan. Seperti ketidak tahuan, lupa, dan hutang.
Jadi asas ahliyatul ‘ada itu adalah kemampuan membedakan sesuatu dengan pertimbangan akal, sedangkan indikasinya adadah sifat kedewasaan.Maka orang yang telah dewasa dan berakal, ahliyatul ‘ada-nya dianggap sempurna. Oleh sebab itu apabila datang sesuatu yang baru, sedang dampaknya dapat menghilangkan akal orang dewasa tersebut, seperti gila atau sesuatu yang dapat melemahkannya, seperti sifat kurang akal, atau keadaan yang dapat menghilangkan kecerdasannya, seperti tidur dan pingsan, maka sesuatu yang baru itu dapt menjadi penghalang. Hal tersebut berdampak pada hilangnya ahliyatul ‘ada (ke-ahliyahan melaksanakan).


PENUTUP
KESIMPULAN
            Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, Allah SWT mensyari’atkan hukum, baik yang mengatur tentang hak yang harus dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikannya ataupun mengenai ucapan dan perbuatannya, dengan tujuan untuk kemaslahatan (kebaikan) hidupnya baik secara kelompok maupun secara perorangan, jasmani maupun rokhaninya, di dunia maupun di akhirat.
mahkum alaih seseorang yang dikenai khitab Allah ta’ala dimana perbuatannya diberhubungan dengan hokum syari’at, yang disebut mukallaf.
taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. tanggung jawab melaksanakan syariat dalam segala aspek kehidupan.syarat-syarat
·         orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.
·         Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah.
Dan Ahliyah Secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

o   Prof. DR. Rachmat Syafe‘I, MA,Ilmu USHUL FIQIH,Pustaka Setia Bandung;2007
o   Drs. Sapiudin Shidiq, MA.USHUL FIQH,Perdana media Group;2011
o   Prof,DR. Abdul Wahhab Kallaf,ILMU USHUL FIKIH,Darul Kalam Kuwait;2003
o   Dr. Prof. Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqh”, CV Pustaka Setia. Bandung, 1998

o   Drs. Nazar Bakry, “Fiqih dan Ushul Fiqh”, PT Grafindo Persada, Jakarta, 1993


o   Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Fiqih Muamalah”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar