Selasa, 18 November 2014

ilmu sosial (tugas)



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama multi dimensional. Ia mengandung ajaran tentang akidah, ibadah, akhlak, dan hubungan sesama manusia yang harus dipegang secara utuh tanpa boleh dikapling-kapling. Keempat unsur itulah yang akan membentuk pribadi seorang muslim. Seorang muslim diperintahkan untuk beribadah dengan sebaik-baiknya, berakhlak mulia dan menjaga hubungan sosialnya. Sebaik hubungannya dengan Tuhan, maka sebaik itu pulalah hendaknya dia menjaga hubungan dirinya dengan sesama manusia.
Pengakuan keislaman seseorang tidak cukup hanya dalam bentuk syahadat lisan atau keyakinan dalam hati. Ia harus termanifestasikan pula dalam bentuk amal perbuatan sehari-hari dari waktu ke waktu. Setiap unit perbuatan yang dilakukan seorang muslim, hendaknya menampakkan identitas keislaman yang integral.
Islam mengajarkan tata cara bertindak dalam setiap unit perbuatan, dari mulai masuk ke kamar mandi hingga bergaul dengan orang lain. Begitu seseorang hendak makan dia dianjurkan untuk membaca basmalah dan berdo’a, lalu menggunakan tangan kanannya. Yang pertama menunjukkan unsur keimanan, sedangkan yang kedua merupakan unsur etika. Dengan begitu terdapat keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Di situ tidak ada skala prioritas, dalam arti mana yang harus didahulukan. Namun di masyarakat terdapat kesan bahwa hubungan dengan Tuhan jauh lebih penting daripada hubungan dengan sesama manusia. Akibatnya orang sering memberi tekanan sangat tinggi terhadap kewajiban shalat tetapi mengabaikan pada pentingnya kejujuran, menganggap dosa meninggalkan puasa Ramad}an lebih besar daripada korupsi.
Manusia dalam agama Islam mempunyai fungsi ganda. Dalam hubungannya dengan Allah dia adalah ‘a>bid,  yakni hamba yang harus tunduk dan patuh kepada Tuhannya, dan dalam hubungannya dengan sesama makhluk dia adalah kha>lifah Allah. Fungsi ‘a>bid harus dilaksanakan serentak dan selaras dengan fungsi kekha>lifahan tanpa ada yang harus didahulukan.[1]
Ungkapan di atas merupakan gambaran dari sebuah proses dalam menjalankan agama dan konsekuensi bagi orang yang beragama. Apabila dalam kehidupan ini seorang muslim berperilaku tidak seperti apa yang telah ditetapkan oleh Islam, maka keberagamaannya tidaklah sempurna. Asumsi ini dijelaskan oleh seorang ulama, dan dapat disangkal pula oleh yang lainnya,  dengan pandangan yang berbeda serta dasar yang berbeda pula.
Skripsi ini mengkaji tema Islam Ka>ffah  dalam Tafsi>r al-Mana>r dan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n (Studi komparatif). Pada dasarnya mengapa tertarik untuk membahas tema ini, karena banyak perbedaan asumsi dalam memberikan pemahaman atau interpretasi pada tema tersebut, sehingga timbul efek pada segi sosial dalam menjalankannya.  
Kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal, pernah membahas hal ini,   dengan tema diskusi, “Islam ka>ffah, Mungkinkah?”.[2] Pada saat itu ada yang mengatakan bahwa kata “ka>ffah” dalam agama itu sangat sulit untuk dilaksanakan,  bahkan mungkin mustah}il direalisasikan dalam realitas saat ini.
Menurut Ulil Abs}ar ‘Abdala dalam forum tersebut, kalau mau digambarkan dengan bahasa matematik, “ka>ffah” artinya sudut 360 derajat,  lingkaran penuh. Apakah mungkin beragama secara "lingkaran penuh"?.[3] Menurut Ulil, beragama searah 360 derajat itu tidak sehat dilihat dari berbagai segi. Secara kejiwaan, orang memerlukan variasi tindakan, keragaman perilaku. Ada bidang-bidang dalam kehidupan, di mana agama memainkan peran penting,  ada bidang-bidang lain yang tidak memerlukan "kata putus" dari agama. Agama yang “ka>ffah” itu hanya tepat untuk masyarakat sederhana, yang bisa dipahami sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harfiah, tekstual,  menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pemaknaan “ka>ffah” semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan yang mungkin. Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai “ka>ffah” adalah “meng-kopi kehidupan Nabi seperti apa adanya.”[4]
Rasanya cukup sulit menjalankan agama yang “ka>ffah”, baik ia seorang Muslim, Kristen, Budha, Hindu, atau Kong Hu Chu. Karena misi agama sebenarnya adalah sebagai penyeimbang hidup manusia untuk tidak "berat sebelah" ke arah destruktif dalam hidupnya, ia hanyalah sebuah tawaran ide untuk dinamisasi kehidupan.[5]
Sebuah wacana yang di gambarkan oleh ulil mengenai “Islam Ka>ffah”  merupakan pemahaman yang sangat sempit, ulil terjebak pada arti dari lafaz} “Ka>ffah”  yang dia artikan dengan lingkaran 360 derajat yang sulit dilaksanakan, atau “meng-kopi kehidupan Nabi sepenuhnya”, padahal kalau kita pahami ayat dalam Q.S. al-Baqarah 208 secara keseluruhan, di sana terdapat kata perintah dari Allah untuk masuk Islam secara “Ka>ffah”, menurut hemat penulis bahwa pencantuman  kata perintah pada ayat itu bukan suatu yang tidak mungkin bisa atau sulit dilaksanakan seperti yang diungkapkan oleh ulil, karena Allah SWT berfirman pada Q.S. al-Baqarah 233 dan 286, yang artinya bahwa Allah membebankan sesuatu pada manusia sesuai dengan kadar kemampuanya, dengan demikian ke-ka>ffah-an adalah sesuatu yang dapat dilaksanakan dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, hanya mungkin ukuran dan kadar dari kesempurnaan itu saja yang berbeda.
            Berbagai asumsi di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa, Islam yang di pahami, merupakan agama yang sulit mencapai ke-ka>ffah-an baik dari pemeluknya maupun agamanya. Memang, dalam al-Qur’a>n dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, namun kesempurnaan yang dijelaskan dari seluruh isi al-Qur’a>n bukan merupakan kesempurnaan final. Banyak ayat dalam al-Qur’a>n yang menuntut manusia untuk menggunakan akalnya untuk menjelaskannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan al-Qur’a>n masih berbentuk dasar-dasarnya saja atau merupakan kesempurnaan ide. Ia  memerlukan tafsiran, ijtihad, dan lain sebagainya untuk menuju ke-ka>ffah-annya itu. Berangkat dari asumsi tersebut begitu penting kiranya hal mengenai Islam ka>ffah  dibahas, terutama pada zaman yang serba modern ini, di mana ruang lingkup agama makin lama makin menipis.
Islam ka>ffah adalah sebuah istilah yang cukup populer di kalangan umat Islam. Istilah itu diambil dari sebuah interpretasi pada surat al-Baqarah ayat 208 :
 ياأيها الذين أمنوا أدخلوا فى السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان,  انه لكم عدو مبين.  (البقرة 208)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara total, dan jangan mengikuti jejak syait}an. Dia itu sungguh  musuhmu yang jelas.[6]

Pada ayat tersebut lafaz} “as-Silm” ditafsirkan oleh kebanyakan ulama dengan “Islam”, seperti; at-T{abari, T{aba’t}aba’i, Muhammad ‘Abduh, Sayyid Qut}b, juga dalam beberapa kamus dijelaskan, seperti, dalam al-Munjid fi al-Lugat wa al-A’la>m, Mu’jam Mufrada>t al-Faz} al-Qur’a>n dikatakan bahwa lafaz} “as-Silm” dapat diartikan “Islam” dan “kedamaian”. [7]
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tafsir, seperti yang disebutkan oleh at-T{abari, bahwa sebagian ulama ada yang menafsirkan lafaz} “as-Silm” itu dengan arti “damai” dan ada yang menafsirkannya dengan “Islam”,   namun menurut at-T{abari yang paling utama menafsirkan lafaz} “as-Silm” dengan “Islam”.[8] Istilah “Islam ka>ffah” adalah perpaduan antara kata “as-Silm” yang berarti “Islam” dan “ka>ffah” yang berarti “sepenuhnya” atau “seluruhnya”,   seperti penafsiran lafaz} “ka>ffah”  dalam al-Mana>r pada Q.S. at-Taubah (36),  yang berarti  memerangi “seluruh” orang-orang musyrik yang tinggal di Negara muslim, apabila mereka tidak membayar pajak pada pemerintah yang muslim,  mengkhianati perjanjian yang disepakati antar kedua belah pihak, dan memerangi orang-orang Islam.[9]
 Penafsiran lafaz} “ka>ffah”, oleh Sayyid Qut}b pada Q.S. at-Taubah (122),  bahwa nabi Muhammad diutus pada “seluruh” manusia dan merupakan batas akhir dari terutusnya para rasul di Dunia.[10] 
Al-Qur’a>n menyebut lafaz} “ka>ffah” sebanyak  lima kali. Dalam Q.S. al-Baqarah (208),  Q.S. at-Taubah  (36 dan 122),  dan Q.S. Saba’ (28).[11]
Kata    كافة  berasal dari kata كف – يكف – كفا – كافا    yang berarti mengumpulkan, sedangkan kata  كافة  adalah bentuk isim fa>’il mu’annas}  dari lafaz}  كافا  yang merupakan isim fa>’il dari kata kerja  كف .  Lafaz}  كافة  dalam al-Qur’a>n selalu dibaca nasab dan berarti “seluruhnya”, karena dalam susunan kalimat, lafaz} tersebut selalu menjadi hal (menerangkan keadaan subyek) dari kata sebelumnya.[12]
Lafaz} “as-Silm” dalam literatur dikatakan, ada dua pendapat ulama mengenai lafaz} “as-Silm” , yaitu dapat dibaca dengan kasrah  السلم   dan dapat dibaca fath}ah السلم. Adapun lafaz} “as-Silm” ataupun “Salami” seperti yang dikatakan di atas  ada di beberapa surat dalam al-Qur’a>n. Namun pada penulisan ini akan di bahas pada lima tempat dalam tiga surat yaitu : Q.S. al-Baqarah (208), Q.S. an-Nisa’ (90, 91 dan 94) dan Q.S. al-Anfa>l (61). Semua itu dilakukan oleh penulis, dikarenakan tidak dibahasnya penafsiran lafaz} “as-Silm” dan “Salami” pada Q.S. an-Nah}l (28, dan 87) dan Q.S. Muhammad (35) dalam al-Mana>r.[13]
Pembahasan lafaz} “as-Silm”  dan “ka>ffah”   dalam beberapa surat, kecuali pada Q.S. al-Baqarah (208), merupakan faktor penunjang semata, untuk memperkaya pemahaman  pada makna dua lafaz} tersebut, sedangkan inti dari permasalahan dalam penulisan ini adalah pemahaman istilah “Islam ka>ffah”  yang termaktub pada Q.S. al-Baqarah (208) dalam dua tafsi>r yaitu fi Z{ila>l al-Qur’a>n dan al-Mana>r.
Pilihan terhadap kitab Tafsi>r al-Mana>r dengan landasan bahwa kitab ini oleh beberapa pakar tafsi>r dikatakan sebagai tafsi>r kontemporer. Mereka juga berpendapat bahwa kitab ini cirinya sangatlah rasional, dengan uraian-uraian yang mengurangi sekecil mungkin wilayah gaib dan suprarasional.[14] Tafsi>r al-Mana>r sebenarnya merupakan hasil karya tiga tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaludin al-Afga>ni, Syaikh Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyi>d Rid}a>>.[15] Tokoh pertama menanamkan gagasan-gagasan mengenai perbaikan masyarakat pada sahabat dan muridnya,[16] Muhammad ‘Abduh. Oleh tokoh kedua gagasan-gagasan ini diterima dan disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur’a>n serta diterima oleh tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya.[17] Untuk selanjutnya dalam tulisan ini tokoh pertama tidak dianggap sebagai pengarang kitab, karena ia hanya memberikan sumbangsih secara moral, tidak secara langsung terlibat langsung dalam penyusunan kitab Tafsi>r al-Mana>r.
Pada skripsi ini yang menjadi fokus utama adalah lafaz} “as-Silm” dan “ka>ffah” di Q.S. al-Baqarah (208). Dalam kandungan ayat ini tampak sebuah pelajaran sosial yang harus di ambil hikmahnya, dengan itu penulis memilih Tafsi>r al-Mana>r, karena tafsi>r ini mempunyai corak adabi ijtima’ (budaya kemasyarakatan), tokoh utama corak ini,  bahkan yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya, adalah Syaikh Muhammad ‘Abduh.[18] Adapun alasan untuk memilih Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n, selain sosok Sayyid Qut}b yang merupakan salah seorang mujahid terkemuka Ikwa>nul Muslimin,  beliau juga tergolong sebagai ulama yang sangat produktif, sehingga pemikirannya banyak mempengaruhi pemikiran para tokoh di kalangan umat Islam. Di samping itu, karya monumentalnya yaitu Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n, adalah sebuah karya intelektual yang berupaya melakukan penafsiran al-Qur’a>n dengan semangat “gerakan” (h}araki), yang beliau selesaikan beberapa saat sebelum dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Mesir dengan dakwaan “makar”[19].
Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n juga merupakan salah satu tafsi>r modern,[20] yang ditulis secara elegan pada abad XX. Secara ekspresif, Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n menyampaikan urgensi sebuah tata kehidupan di bawah al-Qur’a>n. Di dalamnya ditekankan bahwa tidak ada kebaikan bagi dunia, tidak akan ada ketenteraman bagi manusia, serta tidak ada kemajuan, keberkahan, kesucian, dan keharmonisan dengan hukum alam serta fitrah kehidupan, kecuali dengan kembali kepada Allah, hidup di bawah naungan al-Qur’a>n.[21]
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa menurut Sayyid Qut}b, al-Qur’a>n telah memberikan kepada manusia tuntunan yang komprehensif dengan bentuk yang sempurna dan serasi mencakup segala aspek kehidupan manusia. Gaya bahasa yang dipakai oleh al-Qur’a>n telah mampu menyatu, mempengaruhi dan mengarahkan manusia pada tujuan yang lurus dan suci, sebagaimana ia diciptakan oleh Allah.
Dalam tafsirnya, Sayyid Qut}b terlihat meresapi  keindahan al-Qur’a>n dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur dan tulus, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai paham dan aliran yang merusak serta pertarungan berdarah yang tiada hentinya. Bagi situasi seperti ini, menurutnya tiada jalan keselamatan lain kecuali dengan agama Islam.[22]
Terdapat keistimewaan Sayyid Qut}b dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n yaitu tidak menerima hermeunetik. Maka jika melihat kekhususan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n dan juga intelektualitas pengarangnya, tidak mengherankan jika tafsi>r ini mendapat sambutan baik umat Islam, khususnya para intelektual.
Dari semua latar belakang di atas, penulis ingin sekali melakukan kajian dan analisa tentang “Islam ka>ffahyang terkandung  pada kedua tafsi>r ini, serta  melihat dan memahami sisi-sisi persamaan dan perbedaan dengan jalan komparasi pada dua pemikiran yang ada pada dua tafsi>r kontemporer tersebut.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahannya  dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana penafsiran Muhammad ‘Abduh dan Rasyi>d Rid}a> dalam Tafsi>r al-Mana>r dan Sayyid Qut}b dalam Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n terhadap  Islam ka>ffah” ?
2.      Apa persamaan dan perbedaan kedua tafsi>r tersebut dalam menafsirkan   Islam ka>ffah”  ?

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan dan kegunaan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui dan memahami penafsiran “Islam ka>ffah” perspektif Tafsi>r al-Mana>r  dan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n.
2.      Untuk mengklasifikasikan persamaan dan perbedaan kedua tafsi>r  tersebut dalam  menafsirkan “Islam ka>ffah” .
3.      Penelitian ini diharapkan menambah khazanah intelektual khususnya di bidang tafsi>r, lebih jauh lagi diharapkan mampu disosialisasikan di kalangan akademis maupun masyarakat luas pada umumnya.

D.                Metode Penelitian

Penelitian ini memusatkan pada kajian pustaka murni, karena yang menjadi sumber penelitian adalah data-data atau bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dibahas.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu satu bentuk penelitian yang meliputi proses pengumpulan data, kemudian dianalisa[23]. Pelacakan data dimulai dari data primer yaitu Tafsi>r al-Mana>r karya Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Rid}a dengan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n karya Sayyid Qut}b, sedangkan buku-buku lain yang berkaitan dengan permasalahan dijadikan bahan sekunder.
Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif melalui pemeriksaan atas makna dan penafsiran dari istilah-istilah yang digunakan. Hal ini dilakukan melalui metode komparatif (Perbandingan),[24] yang digunakan untuk menganalisa data yang berbeda dan bertentangan, dalam hal ini adalah penafsiran istilah “Islam ka>ffah” dalam Tafsi>r al-Mana>r dan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n dengan jalan membandingkan kedua penafsiran tersebut untuk mengetahui persamaan dan perbedaan atau mencari kemungkinan untuk mengkompromikannya dan sebab-sebab adanya persamaan dan perbedaan antara keduanya.

E.     Tinjauan Pustaka

Menurut Afif Muhammad dalam bukunya Islam “Maz\hab” Masa Depan,  “Islam ka>ffah” adalah, gambaran dari agama Multi-dimensional. Ia mengandung ajaran tentang akidah, ibadah, akhlak, dan hubungan sesama manusia. Keempat-empatnya mesti dipegang secara serempak tanpa boleh dipilah-pilah, dan totalitas dari keempat unsur itulah yang akan membentuk pribadi seorang muslim. Karena itu, pengakuan keislaman seseorang tidak cukup hanya dalam bentuk syahadat lisan atau keyakinan dalam hati. Ia harus termanifestasikan pula dalam perbuatan sehari-hari dan dari waktu-waktu. Setiap unit perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim, hendaknya menampakkan identitas keislaman yang total dan integral seperti itu. Manusia adalah makhluk yang mempunyai fungsi ganda. Dalam hubungannya dengan Allah dia adalah ‘a>bid,  yakni hamba yang harus tunduk dan patuh pada Tuhan, dan dalam hubungannya dengan sesama makhluknya dia adalah kha>lifah Allah. Fungsi ‘a>bid harus dilaksanakan sejalan dengan fungsi ke-kha>lifah-an, tanpa ada yang harus menjadi skala prioritas.[25]
Menurut Muhammad ‘Ali ‘aS}-S}a>buni dalam kitabnya S}afwah at-Tafa>sir, kata “ka>ffah” berarti keseluruhan dari hukum-hukum dan syari’at yang telah ditetapkan oleh Islam. Maka konsekuensi sebagai muslim adalah mengerjakan semua syari’at itu. Orang yang mengerjakan shalat,  namun meninggalkan puasa atau tidak berzakat, itu tidak dapat dikatakan “ka>ffah”, karena Islam yang “ka>ffah” adalah keselurahan dari syari’at tersebut.[26]
M. Saih}an Muh}it seorang peneliti masalah-masalah agama yang juga staf pengajar di STAIN Kudus dalam artikelnya yang berjudul “Beragama Yang Tidak Anarkis,  Keberagamaan yang Santun dan Damai”, dia mengatakan bahwa “ka>ffah” dalam agama adalah sebuah konsekuensi bagi umat beragama. Dia menjelaskan secara realitas pola beragama kita masih cenderung sepotong-sepotong, tidak utuh (tidak ka>ffah), sehingga tampilan perilaku umat yang beragama terkesan hanya menonjolkan aspek tertentu dan menafikan aspek lain. Hakikat agama tidak hanya diamalkan secara ritual formal, yang lebih penting adalah diamalkan dalam aspek kehidupan umat manusia.[27]
Bentuk-bentuk perilaku yang tidak santun (anarkisme) di kalangan para pemeluk agama, ternyata disebabkan oleh pengamalan agama (keberagamaan) yang hanya sebatas aspek ritual formal keagamaan. Maka tidak heran kalau pemeluk agama setelah shalat jamaah dari masjid, dari gereja, dari pura, masih mau bertikai, bertengkar dengan sesama manusia, melakukan perusakan,  pembakaran rumah orang lain, dan sebagainya. Dengan kata lain, ada perubahan paradigma keberagamaan dari keberagamaan struktural politis menjadi keberagamaan kultural transformatif; artinya agama benar-benar menjadi landasan dalam melakukan aktivitas para pemeluknya kapan saja, di mana saja,  dan dalam kondisi apa pun. Hakikat beragama, sebenarnya terletak pada kedekatan psikologis antara para pemeluk agama (makhluk) dengan Sang Pencipta (Tuhan). Tanpa ada perubahan paradigma tersebut mustahil akan terwujud perilaku yang santun, harmonis, dan damai.[28]
M. Hidayat Nur Wahid dalam sebuah kajian tentang Syari’ah Islam di Indonesia menjelaskan tentang “ka>ffah”, Islam adalah sekaligus syari’at yang dalam dirinya terkandung kepedulian sangat tinggi dengan masalah sosial budaya dan pendidikan. Keharusan melaksanakan Islam secaraka>ffah”, niscaya menjadi pijakan yang sangat kokoh akan keharusan keberadaan syari’at pada lapangan sosial budaya dan pendidikan. Lebih dari itu sejarah umat yang telah terukir berabad-abad lamanya, baik pada skala lokal, nasional maupun global, ternyata juga membuktikan bahwa syariat Islam itu memang rah}matan lil ‘a>lamin dan karenanya pastilah ia dapat dan perlu terwujud pada tataran sosial budaya dan pendidikan.[29]
Aktivis muda Jaringan Islam liberal, Ulil Abs}ar, menulis tentang beragama secara “ka>ffah” biasa difahami sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harfiah, tekstual, menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pamaknaan “ka>ffah” semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan yang mungkin. Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai “ka>ffah” adalah “meng-kopi kehidupan Nabi seperti apa adanya.”[30]
Dari beberapa data yang di peroleh tentang Islam ka>ffah,  ada sebuah pemikiran  cukup menarik yang dihasilkan oleh Yusuf Burhanudin menulis, dalam sebuah artikel yang cukup panjang di harian pagi Pikiran Rakyat edisi 17 oktober 2002, berikut ini sedikit penjelasan dia mengenai Islam ka>ffah : Jika Islam liberal memikirkan Islam peradaban, fundamentalisme Islam concern "mengingatkan" umat tidak mengabaikan akhirat (asketik). Agar lebih simpel,  sebaiknya dipahami begitu saja. Liberal dalam pemikiran namun tetap fundamental dalam beribadah. Tidak untuk STMJ (S}alat Terus Maksiat Jalan),  misalnya. Dalam kelengkapan Islam (ka>ffah), keduanya saling melengkapi dengan menyadari kekurangan masing-masing. Islam itu ka>ffah”, namun belum tergambar dalam ke-ka>ffah-an peran beragama para pemeluknya. Mempertemukan liberal dan fundamental (kalau memungkinkan), memerlukan jalan tengah (third way). Pertemuan itu bisa berawal dari ketegangan keduanya dalam memaknai syari’at. Syari’at, cikal bakal kata syari’at (QS. 5 : 48/ QS. 45 : 18),  sinonimnya minha>j  yang berarti tata cara beragama. Syari’at Islam, berbeda dengan "syari’at" yang ada pada agama lain. Inilah yang dipahami Muhammah al-Hams}i, pen-syarh}Tafsir al-Baya>n”  terbitan Damaskus yang terkenal itu.[31]
Adapun beberapa karya yang mengkaji tentang Tafsi>r al-Mana>r dan pemikiran Muhammad ‘Abduh sebagai seorang mufassir semisal Manhaj al-Ima>m Muhammad ‘Abduh fi at-Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, karya ‘Abdullah Mahmud Syaha>tat.[32] Al-Imam Muhammad ‘Abduh wa Manhajuh fi at-Tafsi>r,  karya Abd Ghaffar Abd Rah}im, [33] dan Studi Kritis Tafsi>r al-Mana>r  karya Quraish Shihab.
Sementara yang berkaitan dengan Sayyid Qut}b, terdapat buku yang berjudul  Pengantar Memahami Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n judul asli (Madh}al ‘ila Z{ila>l al-Qur’a>n), karya S}ala>h ‘Abdul Fatta>h al-Khalidi>. Buku tersebut menjelaskan aspek-aspek tentang Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n, mulai dari sejarah penulisan, sumber-sumber yang dijadikan pedoman oleh Sayyid Qut}b dalam penulisan, karakteristik tulisan (metode dan corak), sampai pada tujuan-tujuan dari penulisan tafsi>r tersebut[34]. Di samping itu Mahdi Fad}lullah juga menulis buku tentang Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qut}b yang berisi tentang sosok beliau dan pemikirannya.[35] Dan Leonard Binder yang juga menulis tentang Estetika Religius Sayyid Qut}b: Sebuah Fundamentalisme non-Skriptual  dalam bukunya Islam Liberal.[36]
Sebuah karya Asrarun Ni’am S}aleh yang berjudul Corak dan Karakteristik fi Z{ila>l al-Qur’a>n juga banyak memberikan kontribusi mengenai metode, bentuk dan corak Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n.[37]
Dari penelusuran penulis, tidak ditemukan pembahasan mengenai istilah “Islam ka>ffahsecara khusus baik menurut Tafsi>r al-Mana>r maupun Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n apalagi dalam bentuk kajian komparasi antara keduanya. Penelitian ini  membahas dan mengkaji penafsiran “Islam ka>ffah dalam kedua tafsi>r tersebut secara komparatif.

F.      Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam skripsi ini dipaparkan dalam beberapa bab sebagai berikut :
Bab Pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian,  tinjauan pustaka dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua,  memuat pembahasan seputar Tafsi>r al-Mana>r  dan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n yang meliputi biografi kedua mufassir, latar belakang penulisan kitab, corak dan metode penafsirannya.
Bab Ketiga, membahas tentang pemaknaan lafaz} “as-Silm” dan kata “ka>ffah”. Selanjutnya dibahas penafsiran “Islam ka>ffah” dalam Tafsi>r al-Mana>r dan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n.
Bab Keempat, merupakan analisis komparatif terhadap kedua penafsiran tersebut tentang “Islam ka>ffah”. Hal ini merupakan analisa penulis untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran yang terdapat pada kedua kitab tafsi>r tersebut baik secara metodologi atau substansi penafsiran mereka, juga kemungkinan adanya pengkompromian, serta sebab-sebab adanya persamaan dan perbedaan di antara keduanya.
Bab Kelima, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.



1Afif Muhammad, Islam “Maz\hab” Masa Depan  (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998),  hlm. 105
[2]Didirikan pada 8 Maret 2001, diikuti oleh lebih dari 400 anggota, termasuk, penulis,  intelektual, dan pengamat politik, seperti: Ulil Abs}ar ‘Abdala sebagai koordinator, Muhammad Gunawan,  dimoderatori oleh Lutfie Assyaukani dari Jaringan Islam Liberal (JIL).
[3]Ulil Abs}ar ‘Abdala, Jaringan Islam Liberal (JIL),  “Islam Kaffa>h mungkinkah ?”,  http :// (islamliberalyahoogroups.com). html . 12-03-2003.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Al-Qur’a>n dan Terjemahannya  (Yogyakarta: UII press, 1999), hlm. 56.
[7] Al-Munjid  fi al-Lugah wa al-A’la>m  ( Beirut : Dar al-Masyriq,1992), hlm. 347
[8]Abu Ja’far Muhammad ibn Jari>r at-T{abāri,  Jami’ al-Baya>n ‘an al-Ta’wil Ay al-Qur’a>n     ( Beirut: Dār al-Fikr,  1995), Juz II,  hlm 188.
 [9]Muhammad Rasyi>d Rid}a, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah  1999),  Juz X,  hlm. 366
[10]Sayyid Qut}b, Tafsir fi Z{ila>l al-Qur’a>n  (Beirut: Ihya’ al-Turas| al-‘Arabi t.th), Juz XXII, hlm 82.
[11]Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahrasy li al-Fa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo: Da>r al-Hadis, 1998),  hlm. 778.
[12]Al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufrada>t al-Fa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, t.,th), hlm 481.
[13]M.Husain az-Z|ahabi, at-Tafsi>r  wa al-Mufassirun  (Kairo : Maktabah Wahibah,1995), hlm. 577
[14]Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r Juz ‘Amma, terj. Muhammad Baqir (Bandung: Mizan,  1998), hlm vii.
           [15]M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsi>r al-Mana>r Karya Muhammad ‘Abduh dan M. Rasyid Rid}a  (Jakarta: Pustaka Hidayah),  hlm 67.             
[16]Afif Asyhari dan Mimin Maimunah Z, Muhammad ‘Abduh dan Pengaruhnya di Indonesia   (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996),  hlm. 22
[17]M. Quraish Shihab,  op.cit,  hlm.68.
[18]Ibid,  hlm. 69
[19]Asrarun Ni’am S}aleh, Corak dan Karakteristik Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n, dalam Majalah  Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 250, edisi Rabi’ul Awwal 1420 H.-Juni 1999,  hlm. 38.
[20]Manna’ Khalil al-Qat}t}an menyebutkan empat Tafsi>r terkenal di abad modern, yaitu: al-Jawahir fi at-Tafsi>r al-Qur’a>n oleh Syaikh Tant}awi Jauhari,  fi Z{ila>l al-Qur’a>n oleh Sayyid Qut}b,  al-Baya>n fi at-Tafsi>r al-Qur’a>n oleh Aisyah ‘Abdurrahman bintu Syati’, dan Tafsi>r al-Mana>r  oleh Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Rasyi>d Rid}a>. Lihat Manna’ Khalil Qat}t}an, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, terj. Mudzakir  (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996 ), hlm. 510-515.
[21]Asrarun Ni’am S}aleh,  op.cit,  hlm.38.
[22]Ibid., hlm.39
[23]Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 140.
[24]Ada tiga hal yang dikaji dalam metode komparatif yaitu: Perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis\, dan pendapat ulama tafsi>r dalam menafsirkan al-Qur’a>n, lihat,   Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998), hlm. 68.
[25]Afif Muhammad,  op.cit., hlm. 105-106.
[26]M. ‘Ali al-S}a>buni, S}afwah at-Tafa>si>r  (Makkah Mukarramah: al-Fushailah, t.t),  Jil. I,  hlm. 133.
[27]M. Saih}an Muh}it, “Beragama yang tidak Anarkis, Keberagamaan yang Santun dan Damai”, Kompas, 15 November 2002, hlm. 5
[28]Ibid.,
[29]M. Hidayat Nur Wahid, “Menerapkan Syari’at Islam di Bidang Sosial Budaya dan Pendidikan”,    Majalah Pusat Konsultasi Syari’ah,  Rabu 08 November 2002.
[30]Jaringan Islam Liberal,  op.cit.
[31]Yusuf Burhanuddin, “Kita Bersumber dari Ajaran yang Sama, Islam!”, Pikiran Rakyat,   17 Oktober 2002., hlm. 5.
[32]‘Abdullah Mahmud Syahatat, Manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Karim (Kairo: al-Majlis al-‘Ala> li Ri’a>yat al-Funun wa al-Adab wa al-Ulu>m al-Ijtima>’iya>t,  1963),  hlm. 49.
[33]‘Abd Ghaffar ‘Abd Rahim, al-Imam Muhammad ‘Abduh wa Manhajuh fi at-Tafsi>r   (Kairo: al-Markaz al-‘Arabi li as-Saqa>fat wa al-Ulu>m 1980).
[34]S}alah ‘Abdul Fattāh al-Khalidi>, Pengantar Memahami Tafsi>r fi  Z{ila>l al-Qur’a>n, terj. (Solo: Era Intermedia, 2001). 5-393
[35]Mahdi Fad}lullah, Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qut}b  (Solo: Rhamadani, 1991), hlm. 9-157
[36]Leonard Binder, Islam Liberal, terj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),  hlm. 250-304.
[37]Asrarun Ni’am s}aleh, op.cit, hlm. 38-40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar