BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Islam merupakan agama multi dimensional. Ia mengandung
ajaran tentang akidah, ibadah, akhlak, dan hubungan sesama manusia yang harus
dipegang secara utuh tanpa boleh dikapling-kapling. Keempat unsur itulah yang
akan membentuk pribadi seorang muslim. Seorang muslim diperintahkan untuk
beribadah dengan sebaik-baiknya, berakhlak mulia dan menjaga hubungan
sosialnya. Sebaik hubungannya dengan Tuhan, maka sebaik itu pulalah hendaknya
dia menjaga hubungan dirinya dengan sesama manusia.
Pengakuan keislaman seseorang tidak cukup hanya dalam bentuk
syahadat lisan atau keyakinan dalam hati. Ia harus termanifestasikan pula dalam
bentuk amal perbuatan sehari-hari dari waktu ke waktu. Setiap unit perbuatan
yang dilakukan seorang muslim, hendaknya menampakkan identitas keislaman yang
integral.
Islam mengajarkan tata cara bertindak dalam setiap unit
perbuatan, dari mulai masuk ke kamar mandi hingga bergaul dengan orang lain.
Begitu seseorang hendak makan dia dianjurkan untuk membaca basmalah dan
berdo’a, lalu menggunakan tangan kanannya. Yang pertama menunjukkan unsur
keimanan, sedangkan yang kedua merupakan unsur etika. Dengan begitu terdapat
keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
Di situ tidak ada skala prioritas, dalam arti mana yang harus didahulukan.
Namun di masyarakat terdapat kesan bahwa hubungan dengan Tuhan jauh lebih
penting daripada hubungan dengan sesama manusia. Akibatnya orang sering memberi
tekanan sangat tinggi terhadap kewajiban shalat tetapi mengabaikan pada
pentingnya kejujuran, menganggap dosa meninggalkan puasa Ramad}an lebih besar
daripada korupsi.
Manusia dalam agama Islam mempunyai fungsi ganda. Dalam
hubungannya dengan Allah dia adalah ‘a>bid, yakni hamba yang harus tunduk dan patuh
kepada Tuhannya, dan dalam hubungannya dengan sesama makhluk dia adalah kha>lifah
Allah. Fungsi ‘a>bid harus dilaksanakan serentak dan
selaras dengan fungsi kekha>lifahan tanpa ada yang harus didahulukan.[1]
Ungkapan di atas merupakan gambaran dari sebuah proses dalam
menjalankan agama dan konsekuensi bagi orang yang beragama. Apabila dalam
kehidupan ini seorang muslim berperilaku tidak seperti apa yang telah
ditetapkan oleh Islam, maka keberagamaannya tidaklah sempurna. Asumsi
ini dijelaskan oleh seorang ulama, dan dapat disangkal pula oleh yang
lainnya, dengan pandangan yang berbeda
serta dasar yang berbeda pula.
Skripsi
ini mengkaji tema Islam Ka>ffah dalam
Tafsi>r al-Mana>r dan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n (Studi
komparatif). Pada dasarnya mengapa tertarik untuk membahas tema ini, karena
banyak perbedaan asumsi dalam memberikan pemahaman atau interpretasi pada tema
tersebut, sehingga timbul efek pada segi sosial dalam menjalankannya.
Kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal, pernah membahas hal
ini, dengan tema diskusi, “Islam ka>ffah, Mungkinkah?”.[2]
Pada saat itu ada yang mengatakan bahwa kata “ka>ffah” dalam agama
itu sangat sulit untuk dilaksanakan,
bahkan mungkin mustah}il direalisasikan dalam realitas saat ini.
Menurut Ulil Abs}ar
‘Abdala dalam forum tersebut, kalau mau digambarkan dengan bahasa matematik, “ka>ffah”
artinya sudut 360 derajat, lingkaran
penuh. Apakah mungkin beragama secara "lingkaran penuh"?.[3]
Menurut Ulil, beragama searah 360 derajat itu tidak sehat dilihat dari berbagai
segi. Secara kejiwaan, orang memerlukan variasi tindakan, keragaman perilaku.
Ada bidang-bidang dalam kehidupan, di mana agama memainkan peran penting, ada bidang-bidang lain yang tidak memerlukan
"kata putus" dari agama. Agama yang “ka>ffah” itu hanya
tepat untuk masyarakat sederhana, yang bisa dipahami sebagai pelaksanaan
diktum-diktum keagamaan secara harfiah, tekstual, menyeluruh, persis seperti diktum itu
dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pemaknaan “ka>ffah” semacam ini
bukanlah satu-satunya pemaknaan yang mungkin. Tetapi, salah satu pengertian
yang populer mengenai “ka>ffah” adalah “meng-kopi kehidupan Nabi
seperti apa adanya.”[4]
Rasanya
cukup sulit menjalankan agama yang “ka>ffah”, baik ia seorang Muslim,
Kristen, Budha, Hindu, atau Kong Hu Chu. Karena misi agama sebenarnya adalah
sebagai penyeimbang hidup manusia untuk tidak "berat sebelah" ke arah
destruktif dalam hidupnya, ia hanyalah sebuah tawaran ide untuk dinamisasi
kehidupan.[5]
Sebuah
wacana yang di gambarkan oleh ulil mengenai “Islam Ka>ffah” merupakan pemahaman yang sangat sempit, ulil
terjebak pada arti dari lafaz} “Ka>ffah” yang dia artikan dengan lingkaran 360 derajat
yang sulit dilaksanakan, atau “meng-kopi kehidupan Nabi sepenuhnya”, padahal
kalau kita pahami ayat dalam Q.S. al-Baqarah 208 secara keseluruhan, di sana
terdapat kata perintah dari Allah untuk masuk Islam secara “Ka>ffah”, menurut
hemat penulis bahwa pencantuman kata
perintah pada ayat itu bukan suatu yang tidak mungkin bisa atau sulit
dilaksanakan seperti yang diungkapkan oleh ulil, karena Allah SWT berfirman
pada Q.S. al-Baqarah 233 dan 286, yang artinya bahwa Allah membebankan sesuatu
pada manusia sesuai dengan kadar kemampuanya, dengan demikian ke-ka>ffah-an
adalah sesuatu yang dapat dilaksanakan dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa
saja, hanya mungkin ukuran dan kadar dari kesempurnaan itu saja yang berbeda.
Berbagai asumsi di atas secara
tidak langsung menegaskan bahwa, Islam yang di pahami, merupakan agama yang
sulit mencapai ke-ka>ffah-an baik dari pemeluknya maupun agamanya.
Memang, dalam al-Qur’a>n dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna,
namun kesempurnaan yang dijelaskan dari seluruh isi al-Qur’a>n bukan
merupakan kesempurnaan final. Banyak ayat dalam al-Qur’a>n yang menuntut
manusia untuk menggunakan akalnya untuk menjelaskannya. Hal ini menunjukkan
bahwa kesempurnaan al-Qur’a>n masih berbentuk dasar-dasarnya saja atau
merupakan kesempurnaan ide. Ia
memerlukan tafsiran, ijtihad, dan lain sebagainya untuk menuju ke-ka>ffah-annya
itu. Berangkat dari asumsi tersebut begitu penting kiranya hal mengenai Islam
ka>ffah dibahas, terutama pada
zaman yang serba modern ini, di mana ruang lingkup agama makin lama makin
menipis.
Islam
ka>ffah
adalah sebuah istilah yang cukup populer di kalangan umat Islam. Istilah itu
diambil dari sebuah interpretasi pada surat al-Baqarah ayat 208 :
ياأيها الذين أمنوا أدخلوا فى السلم كافة ولا
تتبعوا خطوات الشيطان, انه لكم عدو مبين. (البقرة 208)
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, masuklah ke dalam Islam secara total, dan jangan mengikuti jejak
syait}an. Dia itu sungguh musuhmu yang
jelas.[6]
Pada
ayat tersebut lafaz} “as-Silm” ditafsirkan oleh kebanyakan ulama
dengan “Islam”, seperti; at-T{abari, T{aba’t}aba’i, Muhammad ‘Abduh,
Sayyid Qut}b, juga dalam beberapa kamus dijelaskan, seperti, dalam al-Munjid
fi al-Lugat wa al-A’la>m, Mu’jam Mufrada>t al-Faz} al-Qur’a>n dikatakan
bahwa lafaz} “as-Silm” dapat diartikan “Islam” dan “kedamaian”.
[7]
Memang
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tafsir, seperti yang disebutkan oleh
at-T{abari, bahwa sebagian ulama ada yang menafsirkan lafaz} “as-Silm”
itu dengan arti “damai” dan ada yang menafsirkannya dengan “Islam”, namun menurut at-T{abari yang paling
utama menafsirkan lafaz} “as-Silm” dengan “Islam”.[8] Istilah “Islam
ka>ffah” adalah perpaduan antara kata “as-Silm” yang berarti
“Islam” dan “ka>ffah” yang berarti “sepenuhnya” atau “seluruhnya”, seperti penafsiran lafaz}
“ka>ffah” dalam al-Mana>r pada
Q.S. at-Taubah (36), yang berarti memerangi “seluruh” orang-orang
musyrik yang tinggal di Negara muslim, apabila mereka tidak membayar pajak pada
pemerintah yang muslim, mengkhianati
perjanjian yang disepakati antar kedua belah pihak, dan memerangi orang-orang
Islam.[9]
Penafsiran lafaz} “ka>ffah”, oleh
Sayyid Qut}b pada Q.S. at-Taubah (122),
bahwa nabi Muhammad diutus pada “seluruh” manusia dan merupakan
batas akhir dari terutusnya para rasul di Dunia.[10]
Al-Qur’a>n
menyebut lafaz} “ka>ffah” sebanyak
lima kali. Dalam Q.S. al-Baqarah (208),
Q.S. at-Taubah (36 dan 122), dan Q.S. Saba’ (28).[11]
Kata كافة berasal dari kata كف – يكف – كفا – كافا yang berarti mengumpulkan,
sedangkan kata كافة adalah bentuk isim
fa>’il mu’annas} dari
lafaz} كافا yang merupakan isim
fa>’il dari kata kerja كف . Lafaz} كافة dalam al-Qur’a>n
selalu dibaca nasab dan berarti “seluruhnya”, karena dalam susunan
kalimat, lafaz} tersebut selalu menjadi hal (menerangkan keadaan subyek)
dari kata sebelumnya.[12]
Lafaz}
“as-Silm” dalam literatur dikatakan, ada dua pendapat ulama mengenai lafaz}
“as-Silm” , yaitu dapat dibaca dengan kasrah السلم dan dapat dibaca fath}ah
السلم. Adapun lafaz} “as-Silm”
ataupun “Salami” seperti yang dikatakan di atas ada di beberapa surat dalam al-Qur’a>n.
Namun pada penulisan ini akan di bahas pada lima tempat dalam tiga surat yaitu
: Q.S. al-Baqarah (208), Q.S. an-Nisa’ (90, 91 dan 94) dan Q.S. al-Anfa>l
(61). Semua itu dilakukan oleh penulis, dikarenakan tidak dibahasnya penafsiran
lafaz} “as-Silm” dan “Salami” pada Q.S. an-Nah}l (28, dan 87) dan
Q.S. Muhammad (35) dalam al-Mana>r.[13]
Pembahasan
lafaz} “as-Silm” dan
“ka>ffah” dalam beberapa surat, kecuali pada Q.S.
al-Baqarah (208), merupakan faktor penunjang semata, untuk memperkaya
pemahaman pada makna dua lafaz}
tersebut, sedangkan inti dari permasalahan dalam penulisan ini adalah pemahaman
istilah “Islam ka>ffah” yang
termaktub pada Q.S. al-Baqarah (208) dalam dua tafsi>r yaitu fi
Z{ila>l al-Qur’a>n dan al-Mana>r.
Pilihan
terhadap kitab Tafsi>r al-Mana>r dengan landasan bahwa
kitab ini oleh beberapa pakar tafsi>r dikatakan sebagai tafsi>r
kontemporer. Mereka juga berpendapat bahwa kitab ini cirinya sangatlah
rasional, dengan uraian-uraian yang mengurangi sekecil mungkin wilayah gaib dan
suprarasional.[14]
Tafsi>r al-Mana>r sebenarnya merupakan hasil karya tiga
tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaludin al-Afga>ni, Syaikh Muhammad ‘Abduh dan
Sayyid Muhammad Rasyi>d Rid}a>>.[15] Tokoh pertama menanamkan
gagasan-gagasan mengenai perbaikan masyarakat pada sahabat dan muridnya,[16] Muhammad ‘Abduh. Oleh
tokoh kedua gagasan-gagasan ini diterima dan disampaikan melalui penafsiran
ayat-ayat al-Qur’a>n serta diterima oleh tokoh ketiga yang kemudian menulis
semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya.[17] Untuk selanjutnya dalam
tulisan ini tokoh pertama tidak dianggap sebagai pengarang kitab, karena ia
hanya memberikan sumbangsih secara moral, tidak secara langsung terlibat
langsung dalam penyusunan kitab Tafsi>r al-Mana>r.
Pada
skripsi ini yang menjadi fokus utama adalah lafaz} “as-Silm” dan
“ka>ffah” di Q.S. al-Baqarah (208). Dalam
kandungan ayat ini tampak sebuah pelajaran sosial yang harus di ambil
hikmahnya, dengan itu penulis memilih Tafsi>r al-Mana>r, karena tafsi>r ini mempunyai corak adabi ijtima’
(budaya kemasyarakatan), tokoh utama corak ini,
bahkan yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya, adalah Syaikh Muhammad
‘Abduh.[18] Adapun alasan untuk memilih Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n, selain sosok Sayyid Qut}b yang merupakan salah
seorang mujahid terkemuka Ikwa>nul Muslimin, beliau juga tergolong sebagai ulama yang
sangat produktif, sehingga pemikirannya banyak mempengaruhi pemikiran para
tokoh di kalangan umat Islam. Di samping itu, karya monumentalnya yaitu Tafsi>r
fi Z{ila>l al-Qur’a>n, adalah sebuah karya
intelektual yang berupaya melakukan penafsiran al-Qur’a>n
dengan semangat “gerakan” (h}araki), yang beliau selesaikan beberapa
saat sebelum dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Mesir dengan dakwaan “makar”[19].
Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n juga merupakan salah satu tafsi>r modern,[20] yang ditulis secara
elegan pada abad XX. Secara ekspresif, Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n menyampaikan urgensi sebuah tata kehidupan di bawah al-Qur’a>n. Di dalamnya ditekankan bahwa tidak ada kebaikan bagi dunia,
tidak akan ada ketenteraman bagi manusia, serta tidak ada kemajuan, keberkahan,
kesucian, dan keharmonisan dengan hukum alam serta fitrah kehidupan, kecuali
dengan kembali kepada Allah, hidup di bawah naungan al-Qur’a>n.[21]
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa
menurut Sayyid Qut}b, al-Qur’a>n telah memberikan
kepada manusia tuntunan yang komprehensif dengan bentuk yang sempurna dan
serasi mencakup segala aspek kehidupan manusia. Gaya bahasa yang dipakai oleh al-Qur’a>n telah mampu menyatu, mempengaruhi dan mengarahkan manusia pada
tujuan yang lurus dan suci, sebagaimana ia diciptakan oleh Allah.
Dalam tafsirnya, Sayyid Qut}b terlihat
meresapi keindahan al-Qur’a>n dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur dan tulus,
sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia sedang berada dalam
kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai paham dan aliran yang merusak serta
pertarungan berdarah yang tiada hentinya. Bagi situasi seperti ini, menurutnya
tiada jalan keselamatan lain kecuali dengan agama Islam.[22]
Terdapat keistimewaan Sayyid Qut}b
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n yaitu tidak menerima hermeunetik.
Maka jika melihat kekhususan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n dan juga intelektualitas pengarangnya, tidak mengherankan jika
tafsi>r ini mendapat sambutan baik umat Islam, khususnya para intelektual.
Dari semua latar belakang di atas, penulis
ingin sekali melakukan kajian dan analisa tentang “Islam ka>ffah” yang terkandung pada kedua tafsi>r ini, serta melihat dan memahami sisi-sisi persamaan dan
perbedaan dengan jalan komparasi pada dua pemikiran yang ada pada dua
tafsi>r kontemporer tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka permasalahannya dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Bagaimana penafsiran Muhammad ‘Abduh dan Rasyi>d Rid}a>
dalam Tafsi>r al-Mana>r dan Sayyid Qut}b dalam Tafsi>r
fi Z{ila>l al-Qur’a>n terhadap
“Islam ka>ffah” ?
2.
Apa persamaan dan perbedaan kedua tafsi>r tersebut dalam
menafsirkan “Islam ka>ffah” ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini
mempunyai tujuan dan kegunaan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui dan memahami penafsiran “Islam ka>ffah”
perspektif Tafsi>r al-Mana>r dan
Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n.
2.
Untuk mengklasifikasikan persamaan dan perbedaan kedua
tafsi>r tersebut dalam menafsirkan “Islam ka>ffah” .
3.
Penelitian ini diharapkan menambah khazanah intelektual
khususnya di bidang tafsi>r, lebih jauh lagi diharapkan mampu disosialisasikan
di kalangan akademis maupun masyarakat luas pada umumnya.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini
memusatkan pada kajian pustaka murni, karena yang menjadi sumber penelitian
adalah data-data atau bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik permasalahan
yang dibahas.
Penelitian ini
bersifat deskriptif analitis yaitu satu bentuk penelitian yang meliputi proses
pengumpulan data, kemudian dianalisa[23]. Pelacakan data dimulai
dari data primer yaitu Tafsi>r al-Mana>r karya Muhammad
‘Abduh dan Rasyid Rid}a dengan Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n
karya Sayyid Qut}b, sedangkan buku-buku lain yang berkaitan dengan
permasalahan dijadikan bahan sekunder.
Selanjutnya
data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif melalui pemeriksaan atas
makna dan penafsiran dari istilah-istilah yang digunakan. Hal ini dilakukan
melalui metode komparatif (Perbandingan),[24] yang digunakan untuk
menganalisa data yang berbeda dan bertentangan, dalam hal ini adalah penafsiran
istilah “Islam ka>ffah” dalam Tafsi>r al-Mana>r dan
Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n dengan jalan membandingkan kedua
penafsiran tersebut untuk mengetahui persamaan dan perbedaan atau mencari
kemungkinan untuk mengkompromikannya dan sebab-sebab adanya persamaan dan
perbedaan antara keduanya.
E. Tinjauan Pustaka
Menurut Afif
Muhammad dalam bukunya Islam “Maz\hab” Masa Depan, “Islam ka>ffah” adalah, gambaran dari
agama Multi-dimensional. Ia mengandung ajaran tentang akidah, ibadah, akhlak,
dan hubungan sesama manusia. Keempat-empatnya mesti dipegang secara serempak tanpa
boleh dipilah-pilah, dan totalitas dari keempat unsur itulah yang akan
membentuk pribadi seorang muslim. Karena itu, pengakuan keislaman seseorang
tidak cukup hanya dalam bentuk syahadat lisan atau keyakinan dalam hati. Ia
harus termanifestasikan pula dalam perbuatan sehari-hari dan dari waktu-waktu.
Setiap unit perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim, hendaknya menampakkan
identitas keislaman yang total dan integral seperti itu. Manusia adalah makhluk
yang mempunyai fungsi ganda. Dalam hubungannya dengan Allah dia adalah ‘a>bid, yakni hamba yang harus tunduk dan patuh pada
Tuhan, dan dalam hubungannya dengan sesama makhluknya dia adalah kha>lifah
Allah. Fungsi ‘a>bid harus dilaksanakan sejalan dengan fungsi ke-kha>lifah-an,
tanpa ada yang harus menjadi skala prioritas.[25]
Menurut
Muhammad ‘Ali ‘aS}-S}a>buni dalam kitabnya S}afwah at-Tafa>sir,
kata “ka>ffah” berarti keseluruhan dari hukum-hukum dan syari’at yang
telah ditetapkan oleh Islam. Maka konsekuensi sebagai muslim adalah mengerjakan
semua syari’at itu. Orang yang mengerjakan shalat, namun meninggalkan puasa atau tidak berzakat,
itu tidak dapat dikatakan “ka>ffah”, karena Islam yang
“ka>ffah” adalah keselurahan dari syari’at tersebut.[26]
M. Saih}an
Muh}it seorang peneliti masalah-masalah agama yang juga staf pengajar di STAIN
Kudus dalam artikelnya yang berjudul “Beragama Yang Tidak Anarkis, Keberagamaan yang Santun dan Damai”, dia
mengatakan bahwa “ka>ffah” dalam agama adalah sebuah
konsekuensi bagi umat beragama. Dia menjelaskan secara realitas pola beragama
kita masih cenderung sepotong-sepotong, tidak utuh (tidak ka>ffah),
sehingga tampilan perilaku umat yang beragama terkesan hanya menonjolkan aspek
tertentu dan menafikan aspek lain. Hakikat agama tidak hanya diamalkan secara
ritual formal, yang lebih penting adalah diamalkan dalam aspek kehidupan umat
manusia.[27]
Bentuk-bentuk
perilaku yang tidak santun (anarkisme) di kalangan para pemeluk agama, ternyata
disebabkan oleh pengamalan agama (keberagamaan) yang hanya sebatas aspek ritual
formal keagamaan. Maka tidak heran kalau pemeluk agama setelah shalat jamaah
dari masjid, dari gereja, dari pura, masih mau bertikai, bertengkar dengan
sesama manusia, melakukan perusakan,
pembakaran rumah orang lain, dan sebagainya. Dengan kata lain, ada
perubahan paradigma keberagamaan dari keberagamaan struktural politis menjadi
keberagamaan kultural transformatif; artinya agama benar-benar menjadi landasan
dalam melakukan aktivitas para pemeluknya kapan saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa pun. Hakikat beragama,
sebenarnya terletak pada kedekatan psikologis antara para pemeluk agama
(makhluk) dengan Sang Pencipta (Tuhan). Tanpa ada perubahan paradigma tersebut
mustahil akan terwujud perilaku yang santun, harmonis, dan damai.[28]
M. Hidayat Nur
Wahid dalam sebuah kajian tentang Syari’ah Islam di Indonesia menjelaskan
tentang “ka>ffah”, Islam adalah sekaligus syari’at yang
dalam dirinya terkandung kepedulian sangat tinggi dengan masalah sosial budaya
dan pendidikan. Keharusan melaksanakan Islam secara “ka>ffah”, niscaya menjadi pijakan yang sangat kokoh akan
keharusan keberadaan syari’at pada lapangan sosial budaya dan pendidikan. Lebih
dari itu sejarah umat yang telah terukir berabad-abad lamanya, baik pada skala
lokal, nasional maupun global, ternyata juga membuktikan bahwa syariat Islam
itu memang rah}matan lil ‘a>lamin dan karenanya pastilah ia dapat dan
perlu terwujud pada tataran sosial budaya dan pendidikan.[29]
Aktivis muda
Jaringan Islam liberal, Ulil Abs}ar, menulis tentang beragama secara “ka>ffah”
biasa difahami sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harfiah,
tekstual, menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi.
Tentu pamaknaan “ka>ffah” semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan
yang mungkin. Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai “ka>ffah”
adalah “meng-kopi kehidupan Nabi seperti apa adanya.”[30]
Dari beberapa
data yang di peroleh tentang Islam ka>ffah, ada sebuah pemikiran cukup menarik yang dihasilkan oleh Yusuf
Burhanudin menulis, dalam sebuah artikel yang cukup panjang di harian pagi Pikiran
Rakyat edisi 17 oktober 2002, berikut ini sedikit penjelasan dia mengenai Islam
ka>ffah : Jika Islam liberal memikirkan Islam
peradaban, fundamentalisme Islam concern "mengingatkan" umat tidak mengabaikan
akhirat (asketik). Agar lebih simpel,
sebaiknya dipahami begitu saja. Liberal dalam pemikiran namun tetap
fundamental dalam beribadah. Tidak untuk STMJ (S}alat Terus Maksiat
Jalan), misalnya. Dalam kelengkapan
Islam (ka>ffah), keduanya saling melengkapi dengan menyadari
kekurangan masing-masing. Islam itu “ka>ffah”, namun belum tergambar dalam ke-ka>ffah-an peran beragama para pemeluknya.
Mempertemukan liberal dan fundamental (kalau memungkinkan), memerlukan jalan
tengah (third way). Pertemuan itu bisa berawal dari ketegangan keduanya
dalam memaknai syari’at. Syari’at, cikal bakal kata syari’at (QS. 5 : 48/ QS.
45 : 18), sinonimnya minha>j yang berarti tata cara beragama. Syari’at
Islam, berbeda dengan "syari’at" yang ada pada agama lain. Inilah
yang dipahami Muhammah al-Hams}i, pen-syarh} “Tafsir al-Baya>n” terbitan Damaskus yang terkenal itu.[31]
Adapun beberapa karya yang mengkaji
tentang Tafsi>r al-Mana>r dan
pemikiran Muhammad ‘Abduh sebagai seorang mufassir semisal Manhaj
al-Ima>m Muhammad ‘Abduh fi at-Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, karya ‘Abdullah Mahmud Syaha>tat.[32]
Al-Imam Muhammad ‘Abduh wa Manhajuh fi at-Tafsi>r, karya Abd Ghaffar Abd Rah}im, [33]
dan Studi Kritis Tafsi>r al-Mana>r karya Quraish Shihab.
Sementara yang berkaitan dengan Sayyid
Qut}b, terdapat buku yang berjudul Pengantar Memahami Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n judul asli (Madh}al ‘ila Z{ila>l al-Qur’a>n), karya S}ala>h ‘Abdul Fatta>h al-Khalidi>.
Buku tersebut menjelaskan aspek-aspek tentang Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n, mulai dari sejarah penulisan, sumber-sumber yang
dijadikan pedoman oleh Sayyid Qut}b dalam penulisan,
karakteristik tulisan (metode dan corak), sampai pada tujuan-tujuan dari
penulisan tafsi>r tersebut[34].
Di samping itu Mahdi Fad}lullah juga menulis buku tentang Titik Temu Agama dan
Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qut}b yang berisi tentang sosok beliau
dan pemikirannya.[35]
Dan Leonard Binder yang juga menulis tentang Estetika Religius Sayyid Qut}b:
Sebuah Fundamentalisme non-Skriptual dalam
bukunya Islam Liberal.[36]
Sebuah karya Asrarun Ni’am S}aleh yang
berjudul Corak dan Karakteristik fi Z{ila>l al-Qur’a>n juga banyak memberikan kontribusi mengenai metode,
bentuk dan corak Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n.[37]
Dari penelusuran penulis, tidak
ditemukan pembahasan mengenai istilah “Islam ka>ffah” secara khusus baik menurut Tafsi>r al-Mana>r maupun Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n apalagi dalam bentuk kajian komparasi
antara keduanya. Penelitian ini membahas
dan mengkaji penafsiran “Islam ka>ffah” dalam
kedua tafsi>r tersebut secara komparatif.
F. Sistematika Pembahasan
Pembahasan
dalam skripsi ini dipaparkan dalam beberapa bab sebagai berikut :
Bab
Pertama,
berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua, memuat pembahasan seputar Tafsi>r al-Mana>r dan Tafsi>r fi Z{ila>l
al-Qur’a>n yang meliputi biografi kedua mufassir, latar belakang
penulisan kitab, corak dan metode penafsirannya.
Bab Ketiga, membahas tentang pemaknaan
lafaz} “as-Silm” dan kata “ka>ffah”. Selanjutnya dibahas
penafsiran “Islam ka>ffah” dalam Tafsi>r al-Mana>r dan
Tafsi>r fi Z{ila>l al-Qur’a>n.
Bab
Keempat,
merupakan analisis komparatif terhadap kedua penafsiran tersebut tentang “Islam
ka>ffah”. Hal ini merupakan analisa penulis untuk mengetahui persamaan
dan perbedaan penafsiran yang terdapat pada kedua kitab tafsi>r tersebut
baik secara metodologi atau substansi penafsiran mereka, juga kemungkinan
adanya pengkompromian, serta sebab-sebab adanya persamaan dan perbedaan di
antara keduanya.
Bab Kelima, merupakan penutup yang
terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
[2]Didirikan pada 8 Maret 2001, diikuti
oleh lebih dari 400 anggota, termasuk, penulis,
intelektual, dan pengamat politik, seperti: Ulil Abs}ar ‘Abdala sebagai
koordinator, Muhammad Gunawan,
dimoderatori oleh Lutfie Assyaukani dari Jaringan Islam Liberal (JIL).
[3]Ulil Abs}ar ‘Abdala,
Jaringan Islam Liberal (JIL), “Islam
Kaffa>h mungkinkah ?”, http :// (islamliberalyahoogroups.com). html . 12-03-2003.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[8]Abu Ja’far Muhammad ibn Jari>r
at-T{abāri, Jami’
al-Baya>n ‘an al-Ta’wil Ay al-Qur’a>n
( Beirut: Dār al-Fikr, 1995), Juz II, hlm 188.
[10]Sayyid Qut}b, Tafsir fi Z{ila>l al-Qur’a>n (Beirut: Ihya’ al-Turas| al-‘Arabi t.th),
Juz XXII, hlm 82.
[11]Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al-Mu’jam
al-Mufahrasy li al-Fa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo: Da>r
al-Hadis, 1998), hlm. 778.
[12]Al-Ragib
al-Asfahani,
Mu’jam Mufrada>t al-Fa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr,
t.,th), hlm 481.
[13]M.Husain az-Z|ahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassirun (Kairo : Maktabah Wahibah,1995), hlm. 577
[14]Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r Juz
‘Amma, terj. Muhammad Baqir (Bandung: Mizan, 1998), hlm vii.
[16]Afif Asyhari dan Mimin Maimunah Z, Muhammad
‘Abduh dan Pengaruhnya di Indonesia (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1996), hlm. 22
[17]M. Quraish Shihab, op.cit, hlm.68.
[19]Asrarun Ni’am S}aleh, Corak dan
Karakteristik Tafsi>r fi Z{ila>l
al-Qur’a>n, dalam Majalah Mimbar
Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 250, edisi Rabi’ul Awwal 1420
H.-Juni 1999, hlm. 38.
[20]Manna’ Khalil al-Qat}t}an menyebutkan
empat Tafsi>r terkenal di abad modern, yaitu: al-Jawahir fi at-Tafsi>r
al-Qur’a>n oleh Syaikh Tant}awi Jauhari,
fi Z{ila>l al-Qur’a>n oleh Sayyid
Qut}b, al-Baya>n fi at-Tafsi>r
al-Qur’a>n oleh Aisyah ‘Abdurrahman bintu Syati’, dan Tafsi>r al-Mana>r oleh Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Rasyi>d
Rid}a>. Lihat Manna’ Khalil Qat}t}an, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, terj.
Mudzakir (Bogor : Pustaka Litera Antar
Nusa, 1996 ), hlm. 510-515.
[21]Asrarun Ni’am S}aleh, op.cit, hlm.38.
[23]Winarno Surakhmad, Pengantar
Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik (Bandung: Tarsito, 1994), hlm.
140.
[24]Ada tiga hal yang dikaji dalam metode
komparatif yaitu: Perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis\, dan
pendapat ulama tafsi>r dalam menafsirkan al-Qur’a>n, lihat, Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran
al-Qur’a>n (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998), hlm. 68.
[25]Afif Muhammad, op.cit., hlm. 105-106.
[26]M. ‘Ali al-S}a>buni,
S}afwah at-Tafa>si>r (Makkah
Mukarramah: al-Fushailah, t.t), Jil.
I, hlm. 133.
[27]M. Saih}an Muh}it, “Beragama yang tidak
Anarkis, Keberagamaan yang Santun dan Damai”, Kompas, 15 November 2002,
hlm. 5
[28]Ibid.,
[29]M. Hidayat Nur Wahid, “Menerapkan
Syari’at Islam di Bidang Sosial Budaya dan Pendidikan”, Majalah
Pusat Konsultasi Syari’ah, Rabu 08
November 2002.
[30]Jaringan Islam Liberal, op.cit.
[31]Yusuf Burhanuddin, “Kita Bersumber dari
Ajaran yang Sama, Islam!”, Pikiran Rakyat, 17 Oktober 2002., hlm. 5.
[32]‘Abdullah Mahmud Syahatat, Manhaj
al-Imam Muhammad ‘Abduh fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Karim (Kairo:
al-Majlis al-‘Ala> li Ri’a>yat al-Funun wa al-Adab wa al-Ulu>m
al-Ijtima>’iya>t, 1963), hlm. 49.
[33]‘Abd Ghaffar ‘Abd Rahim, al-Imam
Muhammad ‘Abduh wa Manhajuh fi at-Tafsi>r
(Kairo: al-Markaz al-‘Arabi
li as-Saqa>fat wa al-Ulu>m 1980).
[34]S}alah ‘Abdul Fattāh
al-Khalidi>, Pengantar Memahami Tafsi>r fi Z{ila>l
al-Qur’a>n, terj. (Solo: Era Intermedia, 2001). 5-393
[35]Mahdi Fad}lullah, Titik Temu Agama
dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qut}b
(Solo: Rhamadani, 1991), hlm. 9-157
[36]Leonard Binder, Islam Liberal, terj.
Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 250-304.
[37]Asrarun Ni’am s}aleh, op.cit, hlm.
38-40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar